RESUME
ASWAJA
II
PROSES
PERKEMBANGAN TEOLOG ASY’ARIYAH
PENYEBARAN
ASYARIYAH KE BERBAGAI
WILAYAH
ISLAM
DISUSUN
OLEH : KELOMPOK 5
NAMA : IDA MULYATI
: ISTI
MUNZAYANAH
SEMESTER : III A
JURUSAN : TARBIYAH
PRODI : S.I PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO
- LAMPUNG
TAHUN
2011
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah serta inayahnya. Sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah ASWAJA II.
Banyak terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat
gandakan amal baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu
yang berguna bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala kekurangan yang ada pada kami dalam
pembuatan makalah ini, kritik dan saran yang membangun yang bisa
menjadi kami lebih baik sangat kami nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan
rahmatnya kepada kita semua.
Metro, 2011
Penulis
ii
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Tujuan Penulisan 1
1.3. Batasan Pembahasan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Proses Perkembangan Pemikiran Teologi Asy’ariyah 3
2.2. Penyebaran Asy’ariyah Keberbagai Wilayah Islam 7
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDHULIAN
- Latar Belakang Masalah
Islam merupakan salah satu
agama samawi yang diturunkan kepada manusia yang penurunanaya melalui
wahyu, sehingga wajar saja ketika memiki keistimewaan- keistimewaan
dibandingkan dengan agama yang lain, khususnya dalam ke kekomlitan
hukum yang ada dalamnya.
Hukum-hukum yang ada dalam
agama islam pada dasanya terdiri dari dua tingkatan yaitu syariah dan
fiqh, beda halnya dalam syariah tidak perlu adanya ijthad para
mujtahid karena sebab dasarnya yaitu dalil-dalil muhkam, sedangkan
fiqh kita tahu banyak sekali permasalahan yang baru dan belum jelas
dan pasti tentang kedudukan hukum tersebut sehingga, para mujtahidpun
mengerahkan tenaga dan pikiranya untuk memperjelas suatu hukum
tersebut, akan tetapi dalam berijtihad para imam sangat mungkin untuk
berbeda karena dasar dan cara istinbathnya yang berbeda. Contohnya
istinbathnya imam Hambali yang akan dipaparkan berikut ini.
- Tujuan Penulisan
Selain bertujuan untuk mendalami pemahaman tentang
aswaja, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan oleh dosen matakuliah aswaja di STAI Ma’arif
Metro Lampung Tahun 2011.
- Batasan Pembahasan
Dalam penulisan makalah ini penulis memberikan
batasan masalah sebagai berikut.
- Proses perkembangan pemikiran teologis asy’ariyah.
- Penyebaran asy’ariyah keberbagai wilayah islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Proses perkembangan pemikiran teologi asy’ariyah
Perbedaan paradigm dalam melihat berbagai
persoalan dalam bangunan teologi asy’ariyah telah mengakibatkan
terjadinya perbedaan pendapat antara tokoh-tokoh pentingnya yang
dating dikemudian hari. Al baqillani misalnya, ketika membahas
masalah al-kasab berpendapat, bahwa manusia mempunyai sumbangan yang
efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Gerak dalam diri manusia
memang ciptaan tuhan, tetapi bentuk atau sifat dari gerak itu
dihasilkan oleh manusia sendiri. Gerak sebagai genus ( jenis ) adalah
ciptaan tuhan, tetapi duduk, berdiri, berbaring dan sebagainya
merupakan spesies (new) dari gerak adalah hasil perolehan manusia.
Al-uunaidi yang lebih dikenal dengan imam al
haramain, seorang pemikir asy’ariyah penting lainnya, berpendapat
bahwa daya yang ada pada manusia mempunyai efek seperti yang terdapat
dalam sebab dan musabbab (kausalitas). Wujud perbuatan manusia
tergantung pada daya yang ada pada manusia. Wujud daya tergantung
pula pada sebab lain dan oleh karenanya, daya tergantung pada sebab
itu, Sebagaimana perbuatan tergantung pada daya. Begitulah
seterusnya.
Sementara al-ghazali berpendapat, bahwa perbuatan
manusia itu nyata, namun dihasilkan dari dua daya. Yaitu daya yang
berasal dari tuhan dan daya yang berasal dari manusia sendiri yang
nota bene juga diciptakan tuhan, karena itu ia lebih menyerupai
‘aziz.
Produk-produk pemikiran asy’ariyah lain,
nampaknya tidak begitu banyak diperdebatkan oleh penerus penerus,
misalnya tuhan dapat dilihat diahirat nanti, menurutnya sesuatu yang
ada dapat dilihat dan penyebab yang membenarkan penglihatan itu
adalah sesuatu yang ada dapat dilihat dan penyebaab yang membenarkan
penglihatan itu, adalah sesuatu yang ada, namun penglihatan itu tidak
dapat diartikan menunggu (nadhirah), seperti pemahaman muktazilah.
Yang tertutup matanya untuk melihat allah hanyalah orang orang kafir.
Paham tentang penglihatan ini, mendapat pembenaran (justification)
dari beberapa riwayat yang berasal dari nabi, misalnya dari sebuah
hadits yang menngatakan “ kamu sekalian akan melihat tuhanmu dengan
nyata, bagaimana melihat bulan di malam purnama, tanpa sedikitpun
berbahaya bagimu.
Bagi say;ari, iman merupakan pembenaran dalam hati
(bil-qolb) sedangkan pengejawantahannya dengan ucapan (bil qoul) dan
perbuatan (bil arkan) melakukan cabangnya dalam memandang pelaku
dosa, asy’ari berpendapat, bahwa pelakuan dosa penentuan besar
hukumnya diserahkan kepada kekuatan allah, apakah diampuni dengan
kasih sayangnya atau di beri syafaat nabi. “ syafaatku bagi pelaku
dosa besar dan segenap umatku”. Pelaku dosa besar tidak selamanya
menetap dineraka, karena didalam dirinya masih terdapat iman.
Seandainya semua manusia dimasukkan ke syurga,
tudak berarti dia salah, atau bila semua manusia dimasukkan keneraka,
bukan berarti tuhan berbuat aniaya. Bukankah aniaya adalah
menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya? Allah penguasa mutlaq,
tiada tercermin dalam dirinya kedzaliman dan tiada pula pada dirinya
melekat kesalahan.
Segala kewajiban dapat diketahui dengan wahyu,
sebab akal tidak dapat mewajibkan sesuatu, tidak juga menilai sesuatu
baik atau buruk. Mengetahui allah dapat dicapai dengan akal, dan
mengetahui wajib dengan wahyu. Firman allah : “ dan kami tidak
mengazab (suatu kaum) hingga kami mengutus seorang rasul”. Begitu
pula perkara mensyukuri rahmat, pahala orang taat, balasan maksiat
dan sebagainya, semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu. Segala
jenis kewajiban (taklif) mengandung esensi manfaat. Allah kuasa
member pahala dan siksa dan merupakan keutamaan allah. Sedang adzab
dan ganjaran merupakan keadilannya. Firman allah : “dia (allah)
tidak akan ditanya apa yang diperbuatnya, sedangkan mereka ditanya
apa-apa yang mereka kerjakan”.
Diutusnya para rasul merupakan perkara jaiz, tidak
wajib dan tidak pula mustahil. Namun setelah diutusnya para rasul,
wajib dikuatkan dengan mukjizat dan pelindungnya dari kesalahan.
Sebab, para penerima seruan harus mengetahui kebenaran penyerunya.
Karamah bagi wali benar adanya, karena hal itu merupakan pembenaran
para nabi, sebagai data dalam memperkuat mukjizat.
Iman dan taat adalah taufiq dari allah, sedangkan
kufur dan maksiat adalah kehinaan dari-nya. Taufiq bagi asy’ari
adalah daya yang diciptakan untuk taat. Sebaliknya, kehinaan
merupakan daya yang diciptakan untuk maksiat. Apapun yang didengar
dari wahyu, seperti al qalam, lauh, arsy dan kursy wajib diimani apa
adanya. Sebagaimana pemberitaan wahyu tentang pertanyaan di alam
kubur, pahala, siksa, timbangan, jembatan, syurga dan neraka,
semuanya wajib diimani apa adanya.
Pandangan asy’ari tentang imamah, ditetapkan
berdasarkan ketetapandan pemilihan, tanpa ada penjelasan dari nash
dan ketetapan syar’i. kesepakatan yang pernah dibuat umat untuk
memilih abubakar, umar, utsman dan ali dilakukan setelah melalui
proses musyawarah. Dalam pandangan asy’ari, urutan mereka dalam
keutamaan, sebagaimana urutan mereka dalam imamah. Sedangkan mengenai
aisyah, talhah dan zubairyang melawan khalifah ali bin abu tholib
dalam perang onta. Dianggap hanya berbuat salah. Thalhah dan zubair
termasuk diantara sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira akan
masuk syurga. Adapun muawwiyah dan amr ibnu ash disebut sebagai
pembangkang terhadap pemimpin yang syah. Oleh karena itu mereka
diperangi dan dipososokan sebagai pembangkang (bughat).
- Penyebaran asy’ariyah ke berbagai wilayah islam.
Dalam periode antara tahun 320 – 447 H, keluarga
buwaihi dan kota dalam dekat khurasan memperoleh pengakuan kekuasaan
dari pusat kekuasaan islam di Baghdad yang ketika itu dipimpin
khalifah al-mustakfi (334 H). mereka menyokong kelompok syiahdan
menghidupkan panji panjinya serta merendahkan wibawa orang orang
turki. Hal ini menjadikan kelompok muktazilah kembali menduduki
posisi penting dalam pemerintahan. Hal itu terjadi karena antara
paham syi’ah dan muktazilah mempunyai doktrin dalam beberapa hal
yang sama atau memiliki kedekatan.
Pada tahun 1055 M/447 H, thurghi bek dari dinasti
saljuk memasuki Baghdad dari jabal atas permintaan khalifah al-qalm
dari bani abbas untuk menumpas despotism (kesewenang-wenangan)
al-malik al-rahim, amir al-umara bani buwaihi yang terahir, dengan
demikian, berahirlah kekuasaan bani buwaihi dan bermulalah kekuasaan
bani saljuk. Pengertian kekuasaan ini juga menandakan awal periode
keempat khilafah abasiyah. Meskipun kekuasaan telah berganti,
muktazilah tetap jaya.
Sepeninggal thughril bek. Dinasti saljuk
diperintah oleh alp arselan (455 – 465 H) dan malikiyah (465 –
485 H). pada kurun ini, orang orang sunni mulai memperoleh kesempatan
lagi untuk berkembang. Malikiyah ketika ketika itu dibantu oleh
perdana mentrinya nizham al mulk. Atas bantuan ini, malikiyah
berhasil memprakarsai pendirian universitas nizhamiyah di tahun 1065
M. dan madrasah hanafiyah di Baghdad yang hanya mengajarkan madzhab
asy’ariyah serta bergabungnya beberapa tokoh penting aliran ini
dikedua perguruan tinggi itu. Seperti al-ghazali dan al-juwaini.
Sementara itu di mesir dan maroko, pengaruh aliran
syi’ah yang dianut oleh dinasti fatimiyah (297 – 567 H) sangat
kuat. Sehingga kelompok sunni memperoleh tekanan berat yang tidak
memunginkannya untuk berkembang, penguasa syiah mendirikan
universitas al-atieq (al-jamiyah al-amru) dan universitas al azhar di
mesir. Di dalam universitas tersebut di ajarkan fiqih syi’ah yang
disusun oleh ya’qub ibn kais. Perdana mentri aziz billah fatimiy.
Merekapun memburu dan menyiksa orang orang sunni yang memiliki dan
mempelajari buku al-muwatha’ yang dikarang oleh imam malik dan
memamerkannya keliling kota kairo. Supremasi daulat Fatimah di mesir
akhirnya dijatuhkan oleh dinasti salahuddin al ayubi ditahun 1174 M.
dengan datangnya dinasti ini, aliran sunni kemudian masuk kembali
kemesir, aliran syiah disana hilang bersama dengan tumbuhnya dinasti
fatimiyah.sallahuddin dikenal sebagai sultan yang banyak membela
islam, terutama pada saat pecahnya perang salib.
Sementara diandalusia dan maroko (arfika utara)
aliran sunni di kembangkan oleh seorang ulama’ yang banyak digaruhi
pemikiran al-ghazali, yaitu Muhammad ibnu tamart (1080 – 1130 M)
setelah ia menghancurkan dinasti al murabithun ((1085 – 1090 M)
yang menganut paham antromorfhisme, kemudian ibnu tumart mendirikan
dinasti al-muwahhidin (1130 – 1269 M) di wilayah timur, paham
asy’ariyah turut dikembangkan oleh raja raja afghan yang pernah
menguasai Persia, yaitu dinasti qanjar (1386 – 1925 M ) selain itu
Muhammad al-ghaznawi dari dinasti ghaznawiyah (962 – 1189 M) yang
berpusat di afganistan (khurasan) juga berjasa dalam menyebarkan
paham asy’ariyah ke beberapa wilayah di sekitarnya, seperti Punjab
dan irak.
Sejarah umat islam mencatat, bahwa aliran
asy’ariyah mempunyai kejayaan terlama dan berlangsung hingga
sekarang. Hal ini disebabkan oleh banyak factor. Menurut Dr. harun
nasution factor yang terpenting adalah kebiasaan rakyat mengikuti
madzhab yang dipakai dinasti penguasa. Di satu pihak pemerintah
mempunyai andil dalam pengembangan aliran ini terutama untuk memenuhi
watak dan keadaan masyarakat. Sementara dilain pihak, untuk mengimpuk
kesetiaan rakyat, penguasa menggunakan doktrin asy’ariyah yang
berkecenderungan jabariyah (fatalistic), sehingga daya kritis umat
ierhadap penguasa dalam hal kebijakan dan perilaku rezim kurang
tajam, bukan cenderung memberikan kelonggaran dan toleransi terhadap
penguasa. Factor penguasa lainnya adalah disejajarkannya aliran
teologi asy’ariyah dengan madzhab fiqih syafi’i. hal ini
menjadikan aliran teologi asyariyah identik dengan aswaja, sehingga
wibawa para ulama’ syafi’iyah ikut menjadi daya tarik tersendiri,
terutama pada masyarakat tradisional.
Dalam rentang waktu yang cukup panjang, corak
pemikiran sebagian besar kaum asy’ariyah diwarnai oleh pemikiran
ghazali yang memang berjasa besar dalam menyebar luaskan teologi ini
melalui sejarah pemikiran yang terbesar dalam berbagai karya di
bidang fiqih, tasawwuf dan ilmu kalam. Ghazali lahir dari produk
sejarah abad ke 11 yang ditandai oleh kebingungan spiritual dan
kekacauan politik pada masa imperium abbasiyah. Medan intlektual
spirituan abad ke 11 berlangsung pula perdebatan yang sengit antara
filosof dan teolog dalam menafsirkan ajaran ajaran agama.
Ghazali adalah figure teolog yang juga seorang
sufi, disamping menguasai berbagai ilmu lainnya. Dalam pergumulannya
itu, kemudian ia mengambil keputusan untuk menentukan posisinya
dengan sikap yang mantap. Ia menempuh jalan sufi sebagai pondasi
teolognya. Pemikiran teologis ghazali ini banyak mendapat sorotan
dari pemikir pemikir islam kontemporer. Diantara sorotan yang paling
tajam adalah ghazali dianggap seorang yang paling bertanggung jawab
atas kemunduran intelektualisme.
BAB
III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Secara metodologis, paham asy’ariyah memilih
jalan tengah antara berbagi ekstrimitas dalam menjaankan doktrin
doktrinnya, paham ini menggunakan metodologi logika aristotelelian
(baca: silogisme) sekalipun demikian, penggunaan logika ariestotelian
diletakkan sebatas metode atau cara (instrumental) bukan materi
kebenaran itu sendiri yang di terapkan pada segala objek. Sebab
kebenaran hanya dapat ditemukan melalui pendekatan terhadap al-qur’an
dan hadits. Sementara pada sisi yang berbeda, banyak yang menuding
konsep al-kasb asy’ariyah telah membawa pengikutnya kepada sikap
fatalistic (jabary) walaupun pada hakikatnya doktrin ini tidan
sepenuhnya menjadikan pengikutnya pasif.
DAFTAR
PUSTAKA
Asy’ari, KH. M. Hasyim, Risalah
Ahl as-sunnah wa al-jamaah: fi Hadits al-Mawta wa Asyarith as-Sa’ah
wa Bayan Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah,
Jombang: Maktabah at-Turats al-Islamy bi Ma’had Tebuireng, 1418 H.
Al-attas, ayed Muhammad naquib, Islam
Dalam Sejarah Dan Kebudayaan Melayu,
bandung: Mizan, 1990, cet. Ke 4.
Atuyatullah, Ahmad,
al-Qomus al-Islamiy, Jilid III, (Kairo:
Maktabah al-Nahdat al Misriyyah, 1980).
iii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar