DOKUMEN MANBA'UL ULUM

DOKUMEN MANBA'UL ULUM
sejarah pengarsipan

Minggu, 18 Desember 2011

pancasila sebagai etika politik


BAB I
PENDAHULUAN


  1. LATAR BELAKANG
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia. Adapun manakala nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi :
  1. norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah manusia yang dapat diukur dari sudut pandang baik ataupun buruk, sopan ataupun tidak sopan, susila atau tidak susila.
  2. norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia.
  1. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut
  1. Apa pengertian etika ?
  2. Apa perbedaan antara nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.?
  3. Seperti apa nilai politik itu ?

  1. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
  1. Mengetahui pengertian etika.
  2. Mengetahui tentang perbedaan antara nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.
  3. Mengetahui tentnag nilai politik.



BAB II

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

  1. Pengantar

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia. Adapun manakala nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi (1) norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah manusia yang dapat diukur dari sudut pandang baik ataupun buruk, sopan ataupun tidak sopan, susila atau tidak susila. Dalam kapasitas inilah nilai-nilai Pancasila telah terjabarkan dalam suatu norma-norma moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila merupakan sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum di negara Indonesia.

Pengertian Etika
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu filsafat teoritis yang mempertanyakan dan berusaha mencari jawaban tentang segala sesuatu, dan filsafat teoritis yang membahas tentang bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut.
Etika termasuk kelompok filsafat praksis dan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip- prinsip itu dalam hubungannya dengan pelbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Sebagai bahasan khusus, etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Sebenarnya, etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar- dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
  1. Pengertian Nilai, Norma dan Moral
  1. Pengertian nilai
Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjukkan kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau “kebaikan” (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229). Jadi, pada hakikatnya nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Ada nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrage). Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik, dan lain sebagainya.
Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan- dambaan dan keharusan. Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein. Meskipun demikian, diantara keduanya saling berhubungan, artinya das Sollen itu harus menjelma menjadi das Sein.
2. Hierarkhi Nilai
Pada hakikatnya segala sesuatu itu benilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaiman hubungan nilai tersebut dengan manusia. Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai tiu senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Nilai-nilai itu dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan sebagai berikut:
  1. Nilai-nilai kenikmatan, yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
  2. Nilai-nilai kehidupan, yang terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan seperti kesehatan.
  3. Nilai-nilai kejiwaan, yang merupakan nilai yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungannya seperti keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
  4. Nilai-nilai kerohanian, yang terdapat modalitas nilai dari yang suci dan tak suci yang terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.
Walter G. Everet menggolong-golongkan nilai-nilai manusiawi ke dalam delapan kelompok yaitu:
  1. Nilai-nilai ekonomis (yang ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli)
  2. Nilai-nilai kejasmanian (membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dalm kehidupan badan)
  3. Nilai-nilai hiburan (Nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan)
  4. Nilai -nilai sosial (berasal mula dari keutuhan pribadi dan sosial yang diinginkan)
  5. Nilai-nilai watak (keseluruhan dari keutuhan pribadi dan sosial yang diinginkan)
  6. Nilai-nilai estetis (Nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni)
  7. Nilai-nilai intelektual (nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran)
  8. Nilai-nilai keagamaan Notonegoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu:
  1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia.
  2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang beguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
  3. Nilai kerokhanian, yaitu se4gala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai ini dapat dibedakan atas empat macam:
  1. Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia. b) Nilai keindahan atau estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (esthetis, gevoel, rasa) manusia.
  2. Nilai keindahan atau nilai etis, yang bersumber pada unsure perasaan ( esthetis, gevoel, rasa ) manusia.
  3. Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, Wollen, karsa) manusia.
  4. Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan keyakinan manusia.
Dari uraian mengenai macam-macam nilai di atas, dapat dikemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berwujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material atau imaterial. Bahkan sesuatu yang imaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur, yaitu dengan menggunakan alat indera maupun alat pengukur seperti seperti berat, panjang, luas dan sebagainya. Sedangkan nilai kerokhanian/spiritual lebih sulit mengukurnya dan yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indera, cipta, rasa, karsa dan keyakinan manusia.
Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis
Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya, maka nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.
  1. Nilai Dasar
Walaupun nilai memiliki sifat abstrak, namun dalam realisasinya nilai berkaitan dengan dengan tingkah laku atau segala aspek kehidupan manusia yang bersifat nyata (praksis). Namun demikian setiap nilai memiliki nilai dasar (dalam bahasa ilmiahnya disebut dasar ontologis), yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna terdalam dari nilai-nilai tersebut.nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu misalnya hakikat Tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya.

  1. Nilai Instrumental
untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis, maka dasar tersebut di atas harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan

  1. Nilai Praksis
Pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjutdari nilai instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata sehingga nilai ini merupakan perwujudan dari nilai instrumental itu.
3. Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Dalam kehidupan mnausia, nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak.nilai berbeda dengan fakta dimana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayati oleh manusia.
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta lebih diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkret dari nilai tersebut adalah norma.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah kita memasuki norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dan etika memang sangat eratseklai dan kadang kala kedua hal itu disamakan behitu saja. Namun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Setiap orang memiliki moralitasnya sendiri-sendiri, tetapi tidak demikian halnya dengan etika. Tidak semua orang perlu melakukan pemikiran yang kritis terhadap etika.
Etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seseorang. Wewenang ini dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral. Hal inilah yang menjadi kekurangan dari etika jikalau dibandingkan dengan ajaran moral. Sekalipun demikian, dalam etika seseorang dapat mengerti mengapa dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu.hal terakhir inilah yang merupakan kelebihan etika jikalau dibandingkan dengan moral.
  1. Etika Politik
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu, etika politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan moral.hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban kewajiban lainnya. Karna yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa dan Negara.

  1. Pengertian politik
Pengertian politik berasal dari kata “politics” yang mempunyai makna bermacam macam kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan tujuan dari system itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan tujuan itu.
Politik selalu menyangkut tujuan tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.

  1. Dimensi politis manusia
  1. Manusia sebagai mahluk individu-sosial
Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari hari, manusia tidak mungkin memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan kepada suatu anggapan bahwa sifat qodrat manusia hanya bersifat individu atau social saja. Manusia sebagai mahluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktifitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa tergantung kepada orang lain hal ini dikarenakan manusia sebagai warga masyarakat atau sebagai mahluk social.
Disamping kebebasan sebagai individu, kesosialan manusia dapat dibuktikan melalui kodrat kehidupannya, sebab manusia lahir didunia senantiasa merupakan suatu hasil interaksi social. Selain itu tanda khas kesosialan manusia adalah terletak pada penggunaan bahasa sebagai suatu system tanda dalam suatu komunikasi dalam masyarakat.
Berdasrkan sifat kodrat manusia tersebut, maka dalam cara manusia memandang dunia, menghayati dirinya sendiri, menyembah tuhan yang maha ESA, dan menyadari apa yang menjadi kewajibannyaian senantiasa dalam hubungannya dengan orang lain. Segala hal yang berkaitan dengan sikap moralnya baik hak maupun kewajiban moralnya, tidak bisa ditentukan hanya berdasarkan norma norma secara individual. Melainkan sanantiasa dalam hubungannya dengan masyarakta. Oleh karena itu, tanggung jawab moral pribadi manusia hanya dapat berkembang dalam kerangka hubungannya dengan orang lain. Sehingga kebebasan moralitasnya senantiasa berhadapan dengan masyarakat.

  1. Dimensi politis kehidupan manusia
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundamental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak , sehingga dua segi fundamental itu dapat di amati dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Dengan demikian hukum dan kekuasaan Negara merupakan aspek yang yang berkaitan langsung dengan etika politik. Hukum sebagai penataan masyarakat secara normative. Serta kekuasaan Negara sebagai lembaga peñata masyarakat yang efektif pada hakikatnya sesuai dengan struktur sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan mahluk social. Hukum tanpa kekuasaan Negara akan merupakan aturan normative yang kosong.
Oleh karena itu, baik hukum maupun Negara keduanya memerlukan sesuatu legitimasi. Hukum harus mampu menunjukkan bahwa tatanan adalah dari masyarakat bersama dan demi kesejahteraan bersama, dan bukannya berasal dari kekuasaan.
Maka etika politik berkaitan dengan objek forma etika, yaitu tinjauan berdasarkan prinsip prinsip dasar etika, terhadap objek material politik yang meliputi legitimasi Negara, hukum, kekuasaan serta penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut.

  1. Nilai nilai pancasila sebagai sumber etika politik.
Negara Indonesia yang berdasarkan sila pertama “ ketuhanan yang maha ESA” bukanlah Negara ‘toekrasi’ yang mendasarkan kekuasaan Negara dan penyelenggara Negara pada legitimasi religius, kekuasaan kepada Negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius.melainkan berdasarkan kepada hokum serta legitimasi demokrasi.oleh karena itu asas ketuhanan yang maha ESA lebih berkaitan dengan legitimasi moral.
Selain sila I dan II “ kemanusiaan yang adil dan beradab” juga merupakan sumber nilai nilai moralitas dalam kehidupan Negara. Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai mahlik tuhan yang maha ESA, bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia didunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita dan prinsip-rpinsip hidup demi kesejahteraan bersama ( sila III). Oleh karena itu manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamentaldalam kehidupan Negara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan :

  1. Asas legalitas (legitimasi hukum) yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku.
  2. Disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis).
  3. Dilaksanakan berdasarkan prinsip prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).

Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan Negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara segala kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyatsebagai pendukung pokok Negara.
Prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praktis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara kolektif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negri maupun luar negri, ekonomi baik nasional maupun global, dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku. (legitimasi hukum) harus mendapat legitimasi rakyat ( legitimasi demokratis) dan juga harus berdasarkan prinsip prinsip moralitas ( legitimasi moral) misalnya kebijakan harga BBM, tariff dasar listrik, tariff telepon, kebijaksanaan ekonomi mikro maupun makro.
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan Negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat Negara. Anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum. Harus menyadari selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasar pada legitimasi moral.


BAB III
PENUTUP


  1. KESIMPULAN
dari ringkasan makalah yang penulis buat, maka penulis menyimpulkan bahwa sila sila pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praktis melainkan merupakan suatu system nilai nilai etika yang merupakan sumber norma baik meliputi norma moral maupun norma hukum yang pada gilirannya harus dijabarkan atau di jelaskan lebih lanjut dalam norma norma etika, moral maupun hukum.dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.

  1. SARAN

  1. Sebaiknya warga Indonesia memahami Pancasila sebagai etika politik.
  2. Menerapkan atau bertindak sesuai dengan ideologi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.









DAFTAR PUSTAKA


Khodi, Silvester. A., Dan Soejadi, R., 1994, Filsafat Ideologi Dan Wawasan Bangsa Indonesia, Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Kusnardi, 1995, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta.
Kuntowijoyo, 1997, “Agama Dan Demokrasi Indonesia”, Dalam Riza Norma-Norma Arfani (Ed), Demokrasi Indonesia Kontemporer, CV. Rajawali, Jakarta.
Heuken, A. SJ. Dkk., 1988, Ensiklopedi Popular Politik Pembangunan Pancasila, Edisi Ke 6, Penerbit Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta.
Huwaydi Fahmi, 1996, Demokrasi Oposisi Dan Masyarakat Madani, Penerbit Mizan, Jakarta.
Ihza Mahendra Yusril, 1999, Ideology dan Negara, Dalam Gazali, “Yusrilihza Mahendra Tokoh Intelektual Muda, Rajawali, Jakarta.
Imawan Rismanda, 1997, “Rekrutmen Kepemimpinan Didaerah : Antara Keinginan Dan Kebutuhan Masyarakat, Dalam Jurnal Ilmu Politik, No. 17, PT. Gramedia AIPI, Jakarta.
……………, 1998, Makna Reformasi : Salah Kaprah, SKH. Kedaulatan Rakyat, 22 Juni, 1999, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar