BAB
I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat
fundamental dan universal bagi manusia. Adapun manakala nilai-nilai
tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau
kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka
nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang
jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi
:
- norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah manusia yang dapat diukur dari sudut pandang baik ataupun buruk, sopan ataupun tidak sopan, susila atau tidak susila.
- norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia.
- RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut
- Apa pengertian etika ?
- Apa perbedaan antara nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.?
- Seperti apa nilai politik itu ?
- TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
- Mengetahui pengertian etika.
- Mengetahui tentang perbedaan antara nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.
- Mengetahui tentnag nilai politik.
BAB
II
PANCASILA
SEBAGAI ETIKA POLITIK
- Pengantar
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan
suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma
baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat
fundamental dan universal bagi manusia. Adapun manakala nilai-nilai
tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau
kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka
nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang
jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi
(1) norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah manusia yang
dapat diukur dari sudut pandang baik ataupun buruk, sopan ataupun
tidak sopan, susila atau tidak susila. Dalam kapasitas inilah
nilai-nilai Pancasila telah terjabarkan dalam suatu norma-norma
moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila merupakan sistem
etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) norma hukum
yaitu suatu sistem peraturan perundang- undangan yang berlaku di
Indonesia. Dalam hal ini, Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari
segala sumber hukum di negara Indonesia.
Pengertian Etika
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi 2 kelompok besar
yaitu filsafat teoritis yang mempertanyakan dan berusaha mencari
jawaban tentang segala sesuatu, dan filsafat teoritis yang membahas
tentang bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut.
Etika termasuk kelompok filsafat praksis dan dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika adalah suatu ilmu
yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu
ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno,
1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
setiap tindakan manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-
prinsip itu dalam hubungannya dengan pelbagai aspek kehidupan manusia
(Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang
membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial
yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam
hidup masyarakat yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika
khusus.
Sebagai bahasan khusus, etika membicarakan sifat-sifat yang
menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Sebenarnya, etika
lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran
dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat
juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar- dasar filosofis
dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
- Pengertian Nilai, Norma dan Moral
- Pengertian nilai
Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjukkan kata
benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau “kebaikan”
(goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan
tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229).
Jadi, pada hakikatnya nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat
pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Ada nilai itu karena
adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrage).
Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna,
benar, indah, baik, dan lain sebagainya.
Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan,
dambaan- dambaan dan keharusan. Berbicara tentang nilai berarti
berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein. Meskipun demikian,
diantara keduanya saling berhubungan, artinya das Sollen itu harus
menjelma menjadi das Sein.
2. Hierarkhi Nilai
Pada hakikatnya segala sesuatu itu benilai, hanya nilai macam apa
yang ada serta bagaiman hubungan nilai tersebut dengan manusia. Max
Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai tiu senyatanya ada yang lebih
tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai
lainnya. Nilai-nilai itu dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan
sebagai berikut:
- Nilai-nilai kenikmatan, yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
- Nilai-nilai kehidupan, yang terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan seperti kesehatan.
- Nilai-nilai kejiwaan, yang merupakan nilai yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungannya seperti keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
- Nilai-nilai kerohanian, yang terdapat modalitas nilai dari yang suci dan tak suci yang terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.
Walter G. Everet menggolong-golongkan nilai-nilai manusiawi ke dalam
delapan kelompok yaitu:
- Nilai-nilai ekonomis (yang ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli)
- Nilai-nilai kejasmanian (membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dalm kehidupan badan)
- Nilai-nilai hiburan (Nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan)
- Nilai -nilai sosial (berasal mula dari keutuhan pribadi dan sosial yang diinginkan)
- Nilai-nilai watak (keseluruhan dari keutuhan pribadi dan sosial yang diinginkan)
- Nilai-nilai estetis (Nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni)
- Nilai-nilai intelektual (nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran)
- Nilai-nilai keagamaan Notonegoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu:
- Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia.
- Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang beguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
- Nilai kerokhanian, yaitu se4gala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai ini dapat dibedakan atas empat macam:
- Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia. b) Nilai keindahan atau estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (esthetis, gevoel, rasa) manusia.
- Nilai keindahan atau nilai etis, yang bersumber pada unsure perasaan ( esthetis, gevoel, rasa ) manusia.
- Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, Wollen, karsa) manusia.
- Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan keyakinan manusia.
Dari uraian mengenai macam-macam nilai di atas, dapat dikemukakan
pula bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang
berwujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud
non-material atau imaterial. Bahkan sesuatu yang imaterial itu dapat
mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia.
Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur, yaitu dengan
menggunakan alat indera maupun alat pengukur seperti seperti berat,
panjang, luas dan sebagainya. Sedangkan nilai kerokhanian/spiritual
lebih sulit mengukurnya dan yang menjadi alat ukurnya adalah hati
nurani manusia yang dibantu oleh alat indera, cipta, rasa, karsa dan
keyakinan manusia.
Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis
Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya, maka nilai-nilai
dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu nilai dasar, nilai
instrumental dan nilai praksis.
- Nilai Dasar
Walaupun nilai memiliki sifat abstrak, namun dalam realisasinya
nilai berkaitan dengan dengan tingkah laku atau segala aspek
kehidupan manusia yang bersifat nyata (praksis). Namun demikian
setiap nilai memiliki nilai dasar (dalam bahasa ilmiahnya disebut
dasar ontologis), yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari atau
makna terdalam dari nilai-nilai tersebut.nilai dasar ini bersifat
universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu
misalnya hakikat Tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya.
- Nilai Instrumental
untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis, maka dasar
tersebut di atas harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran
yang jelas. Nilai instrumental inilah yang merupakan suatu pedoman
yang dapat diukur dan dapat diarahkan
- Nilai Praksis
Pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjutdari nilai
instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata sehingga nilai ini
merupakan perwujudan dari nilai instrumental itu.
3. Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Dalam kehidupan mnausia, nilai dijadikan landasan, alasan atau
motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun
tidak.nilai berbeda dengan fakta dimana fakta dapat diobservasi
melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak
yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayati oleh
manusia.
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan
tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta lebih
diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia
untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud
yang lebih kongkret dari nilai tersebut adalah norma.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan
etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi
manusia. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah
kita memasuki norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dan etika memang sangat eratseklai dan kadang
kala kedua hal itu disamakan behitu saja. Namun sebenarnya kedua hal
tersebut memiliki perbedaan. Setiap orang memiliki moralitasnya
sendiri-sendiri, tetapi tidak demikian halnya dengan etika. Tidak
semua orang perlu melakukan pemikiran yang kritis terhadap etika.
Etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh seseorang. Wewenang ini dipandang berada di tangan
pihak yang memberikan ajaran moral. Hal inilah yang menjadi
kekurangan dari etika jikalau dibandingkan dengan ajaran moral.
Sekalipun demikian, dalam etika seseorang dapat mengerti mengapa dan
atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu.hal
terakhir inilah yang merupakan kelebihan etika jikalau dibandingkan
dengan moral.
- Etika Politik
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan
dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu,
etika politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan moral.hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk
kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan
dengan pengertian kewajiban kewajiban lainnya. Karna yang dimaksud
adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya
dengan masyarakat bangsa dan Negara.
- Pengertian politik
Pengertian politik berasal dari kata “politics” yang mempunyai
makna bermacam macam kegiatan dalam suatu system politik atau Negara
yang menyangkut proses penentuan tujuan tujuan dari system itu dan
diikuti dengan pelaksanaan tujuan tujuan itu.
Politik selalu menyangkut tujuan tujuan dari seluruh masyarakat
(public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals).
Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk
partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.
- Dimensi politis manusia
- Manusia sebagai mahluk individu-sosial
Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari hari, manusia tidak mungkin
memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan kepada suatu
anggapan bahwa sifat qodrat manusia hanya bersifat individu atau
social saja. Manusia sebagai mahluk yang berbudaya, kebebasan sebagai
individu dan segala aktifitas dan kreatifitas dalam hidupnya
senantiasa tergantung kepada orang lain hal ini dikarenakan manusia
sebagai warga masyarakat atau sebagai mahluk social.
Disamping kebebasan sebagai individu, kesosialan manusia dapat
dibuktikan melalui kodrat kehidupannya, sebab manusia lahir didunia
senantiasa merupakan suatu hasil interaksi social. Selain itu tanda
khas kesosialan manusia adalah terletak pada penggunaan bahasa
sebagai suatu system tanda dalam suatu komunikasi dalam masyarakat.
Berdasrkan sifat kodrat manusia tersebut, maka dalam cara manusia
memandang dunia, menghayati dirinya sendiri, menyembah tuhan yang
maha ESA, dan menyadari apa yang menjadi kewajibannyaian senantiasa
dalam hubungannya dengan orang lain. Segala hal yang berkaitan dengan
sikap moralnya baik hak maupun kewajiban moralnya, tidak bisa
ditentukan hanya berdasarkan norma norma secara individual. Melainkan
sanantiasa dalam hubungannya dengan masyarakta. Oleh karena itu,
tanggung jawab moral pribadi manusia hanya dapat berkembang dalam
kerangka hubungannya dengan orang lain. Sehingga kebebasan
moralitasnya senantiasa berhadapan dengan masyarakat.
- Dimensi politis kehidupan manusia
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundamental, yaitu
pengertian dan kehendak untuk bertindak , sehingga dua segi
fundamental itu dapat di amati dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Dengan demikian hukum dan kekuasaan Negara merupakan aspek yang yang
berkaitan langsung dengan etika politik. Hukum sebagai penataan
masyarakat secara normative. Serta kekuasaan Negara sebagai lembaga
peñata masyarakat yang efektif pada hakikatnya sesuai dengan
struktur sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan mahluk
social. Hukum tanpa kekuasaan Negara akan merupakan aturan normative
yang kosong.
Oleh karena itu, baik hukum maupun Negara keduanya memerlukan sesuatu
legitimasi. Hukum harus mampu menunjukkan bahwa tatanan adalah dari
masyarakat bersama dan demi kesejahteraan bersama, dan bukannya
berasal dari kekuasaan.
Maka etika politik berkaitan dengan objek forma etika, yaitu tinjauan
berdasarkan prinsip prinsip dasar etika, terhadap objek material
politik yang meliputi legitimasi Negara, hukum, kekuasaan serta
penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut.
- Nilai nilai pancasila sebagai sumber etika politik.
Negara Indonesia yang berdasarkan sila pertama “ ketuhanan yang
maha ESA” bukanlah Negara ‘toekrasi’ yang mendasarkan kekuasaan
Negara dan penyelenggara Negara pada legitimasi religius, kekuasaan
kepada Negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi
religius.melainkan berdasarkan kepada hokum serta legitimasi
demokrasi.oleh karena itu asas ketuhanan yang maha ESA lebih
berkaitan dengan legitimasi moral.
Selain sila I dan II “ kemanusiaan yang adil dan beradab” juga
merupakan sumber nilai nilai moralitas dalam kehidupan Negara. Negara
pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai
mahlik tuhan yang maha ESA, bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat
manusia didunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu,
dengan suatu cita-cita dan prinsip-rpinsip hidup demi kesejahteraan
bersama ( sila III). Oleh karena itu manusia pada hakikatnya
merupakan asas yang bersifat fundamentaldalam kehidupan Negara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik
menuntut agar kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan :
- Asas legalitas (legitimasi hukum) yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku.
- Disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis).
- Dilaksanakan berdasarkan prinsip prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan
kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh
karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan Negara. Oleh
karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara segala
kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada
rakyatsebagai pendukung pokok Negara.
Prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praktis dalam
kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara kolektif diantara
ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam
pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negri maupun
luar negri, ekonomi baik nasional maupun global, dan lainnya selain
berdasarkan hukum yang berlaku. (legitimasi hukum) harus mendapat
legitimasi rakyat ( legitimasi demokratis) dan juga harus berdasarkan
prinsip prinsip moralitas ( legitimasi moral) misalnya kebijakan
harga BBM, tariff dasar listrik, tariff telepon, kebijaksanaan
ekonomi mikro maupun makro.
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang
ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan Negara.
Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para
pejabat Negara. Anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak
hukum. Harus menyadari selain legitimasi hukum dan legitimasi
demokratis juga harus berdasar pada legitimasi moral.
BAB
III
PENUTUP
- KESIMPULAN
dari ringkasan makalah yang penulis buat, maka penulis menyimpulkan
bahwa sila sila pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu
pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praktis melainkan
merupakan suatu system nilai nilai etika yang merupakan sumber norma
baik meliputi norma moral maupun norma hukum yang pada gilirannya
harus dijabarkan atau di jelaskan lebih lanjut dalam norma norma
etika, moral maupun hukum.dalam kehidupan kenegaraan maupun
kebangsaan.
- SARAN
- Sebaiknya warga Indonesia memahami Pancasila sebagai etika politik.
- Menerapkan atau bertindak sesuai dengan ideologi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Khodi, Silvester. A., Dan Soejadi, R., 1994, Filsafat Ideologi Dan
Wawasan Bangsa Indonesia, Penerbit Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta.
Kusnardi, 1995, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta.
Kuntowijoyo, 1997, “Agama Dan Demokrasi Indonesia”, Dalam Riza
Norma-Norma Arfani (Ed), Demokrasi Indonesia Kontemporer, CV.
Rajawali, Jakarta.
Heuken, A. SJ. Dkk., 1988, Ensiklopedi Popular Politik Pembangunan
Pancasila, Edisi Ke 6, Penerbit Yayasan Cipta Loka Caraka,
Jakarta.
Huwaydi Fahmi, 1996, Demokrasi Oposisi Dan Masyarakat Madani,
Penerbit Mizan, Jakarta.
Ihza Mahendra Yusril, 1999, Ideology dan Negara, Dalam Gazali,
“Yusrilihza Mahendra Tokoh Intelektual Muda, Rajawali, Jakarta.
Imawan Rismanda, 1997, “Rekrutmen Kepemimpinan Didaerah : Antara
Keinginan Dan Kebutuhan Masyarakat, Dalam Jurnal Ilmu Politik,
No. 17, PT. Gramedia AIPI, Jakarta.
……………, 1998, Makna Reformasi : Salah Kaprah, SKH.
Kedaulatan Rakyat, 22 Juni, 1999, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar