DOKUMEN MANBA'UL ULUM

DOKUMEN MANBA'UL ULUM
sejarah pengarsipan

Kamis, 29 Desember 2011

PENGERTIAN HUKUM SYARA’ HUKUM TAKLIFI DAN MACAM MACAMNYA



RESUME
USHUL FIQH
PENGERTIAN HUKUM SYARA’
HUKUM TAKLIFI DAN MACAM MACAMNYA



DISUSUN OLEH : KELOMPOK 8

NAMA : ASTI MEILANI
: MARYATI 10210225
SEMESTER : III A
JURUSAN : TARBIYAH
PRODI : S.I PAI












SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO - LAMPUNG
TAHUN 2011
KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta inayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah Ushul Fiqh.
Banyak terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat gandakan amal baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu yang berguna bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala kekurangan yang ada pada kami dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran yang membangun yang bisa menjadi kami lebih baik sangat kami nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.


Metro, 2011
Penulis











ii
DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 1
1.3. Metode Penulisan 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum Syara’ 2
2.2. Pembagian Hukum Syara’ 5
2.2.1. hukum Taklifi 5
2.2.2. Hukum Wadh’I 12


BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan 14

DAFTAR PUSTAKA












iii


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam. Oleh karena itu penyusun mencoba membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
  1. Rumusan Masalah
    1. Apa pengertian hukum syara’?
    2. Berapa macam pembagian hukum syara’?
    3. Berapa macam bentuk-bentuk hukum taklifi?
    4. Berapa macam bentuk-bentuk hukum wadh’i?
    5. Apa pengertian mahkum bih?
    6. Apa pengertian mahkum alaih?
    7. Siapakah pembuat hukum (hakim) bagi umat Islam?
  2. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penyusun menggunakan metode library research (metode kepustakaan), yaitu dengan jalan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku dengan tujuan untuk mengambil dan mendapatkan bahan-bahan yang ada hubungannya tentang hukum syara dan unsur-unsurnya.
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM SYARA

    1. Pengertian Hukum syara
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan” menurut terminology ushul fiqh, hukum berarti :
خطاب الله المتلق بأفعال المكلفين بالاقضاء او التخيير اوالوضع
Khitab (kalam) allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan ), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).

Kitab allah yang dimaksud dalam definisi diatas adalah kalam allah. Kalam allah sebagai sifatnya adalah al kalam al-nafsy (kalam yang ada pada diri allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam yang seperti itulah yang disebut sebagai hukum syara’.
Kalam allah adalah hukum baik langsung, seperti ayat ayat hukum dalam al-qur’an atau secara tidak langsung, seperti hadits hadits hukum dalam sunnah rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadits hukum dianggap sebagai kalam allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan rasulullah dibidang tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari allah juga.
Seperti firman allah dalam surat an-najm : 3-4.
          
Artinya : 3. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. 4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa rasulullah tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Begitu juga dengan ijma’ harus mempunyai sandaran baik al-qur’an atau sunnah rasulullah. Dengan demikian, kitab allah dalam definisi hukum diatas, mencakup semua dalil dalil hukum yang diakui oleh syara’, sehingga apa yang dimaksud dengan kitab dalam definisi diatas adalah ayat ayat hukum dan hadits-hadits hukum. Misalnya firman allah :
                         
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
[388] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

Bila dicermati definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadits-hadits hukum dapat dikategorikan kedalam beberapa macam :
  1. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
  2. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan yang dilakukan mukalaf yang dilarang itu hukumnya haram.
  3. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan. Dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
  4. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk di tinggalkan itu sifatnya makruh.
  5. Member kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan itu sifatnya sunah.
  6. Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
  7. Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
  8. Menetapkan sesuatu sebagai mani’ (penghalang).
  9. Menetapkan sesuatu sebagai criteria syah san fasad/batal.
  10. Menetapkan sebagai sesuatu kriteria ‘azimah dan ruhkshah.
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.1
    1. Pembagian Hukum Syara
Hukum syara terbagi dua macam:
  1. Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
Teks ayat hukum dan hadits hukum yang yang berhubungan dengan hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk.
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
  1. Macam-Macam Hukum Taklifi.
  1. Ijab, adalah tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur: 56
    ….

artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat….”
Dan dalam surat al-ankabut ayat 45 dijelaskan :
                        
Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Pengertian wajib jika dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, hukum wajib di bagi menjadi dua :
  1. Wajib ‘aini
Wajib ‘aini adalah : kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh atau berakal (mukalaf) tanpa kecuali.
  1. Wajib kifa’i
Wajib kifa’I adalah : kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila telah dilakuman sebagian umat islam, maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan melaksanakannya.
Pengertian wajib jika dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi menjadi dua :
  1. Wajib mu’ayyan
Wajib mu’ayyan adalah yaitu kewajiban melakukan sejenis perbuatan tertentu seperti sholat, puasa, dan lainnya. Dan mukallaf belum gugur kewajibannya sebelum melaksanakannya.
  1. Wajib mukhayyar
yaitu sebuah kewajiban untuk melakukan beberapa macam perbuatan tertentu dengan memilih salah satu dari yang ditentukan. Contoh melanggar sumpah, maka kafarotnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin atau pakaian ataupun juga memerdekakan budak.
Pengertian wajib dari segi waktu
  1. Wajib Muaqqot
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk mengerjakannya dan waktunya sudah ditentukan. Contoh : sholat, puasa romadlon dan lain-lain.
  1. Wajib Mutlak
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang waktunya belum ditentukan. Contoh : haji yang diwajibkan bagi yang mampu dan waktunya ini belum jelas.

  1. Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya. Misalnya: dalam surah al-Baqarah ayat 282
          

artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”2
Kalimat maka tuliskanlah olehmu”, dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah, tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada Nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (al-Baqarah: 283),
….         ……
artinya: “Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya….”
Tuntutan perintah dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti disebut dalam Nadb.
Nadb di bagi menjadi 3 bagian yaitu :
  1. Sunnah Hadyi yaitu suatu perkara yang disunnahkan sebagai penyempurna perbuatan wajib.Orang yang meninggalkannya tidak dikenai siksa tetapi tercela. contoh adzan, sholat berjamah dan lain – lain.
  2. Sunnah Zaidah yaitu perkara yang disunnahkan untuk mengerjakannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
  3. Sunnah Nafal yaitu perkara yang disunnahkan karena sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak disiksa / dicela. Contoh sholat sunnat
  1. Ibahah adalah khitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat adai khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 2, yang artinya: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji bolehlah kamu berburu”.
Pembagian mubah dibagi menjadi tiga macam :
  1. Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak.
  2. Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan bahwa syara’ memberikan kelonggaran bagi yang melakukannya.
  3. Tidak diterangkan sama sekali baik boleh mengerjakan atau meninggalkan yang seperti ini kembali ke baroitul asliyah.
  1. Karanah,adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan ini disebut juga karanah, misalnya hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
Makruh menurut Hanafiah dibagi dua :
  1. Makruh Tahtiman yaitu perkara yang ditetapkan meninggalkannya dengan bersumberkan dalil dhonni. seperti hadist ahad dan qiyas. contoh memakai perhiasan emas dan sutra asli bagi kaum lelaki yang diterangkan dalam hadist ahad dan hukumnya mendapatkan hukuman bagi yang meninggalkannya.
  2. Makruh Tanzih yaitu perkara yang dituntut untuk meninggalkanya dengan tuntutan yang tidak keras. seperti memakan daging keledai ahli / jinak dan meminum susunya hukumnya tidak mendapatkan siksa bagi yang melakukannya.
  1. Tahrim adalah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Contoh memakan bangkai dan sebagainya. Misalnya, firman Allah dalam surah Al-An’am: 151, tentang larangan membunuh.
         

artinya: “Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah…..”
Khitab ayat ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang disebut dengan haram.
Haram dibagi dua yaitu:
  1. Haram asli karena zatnya yaitu perkara yang diharamkan dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat merusak/ berbahaya. Contoh zina mencuri dll.
  2. Haram ghoiru zat yaitu perkara yang hukum aslinya itu wajib, sunnah, mubah, tapi karena mengerjakannya dibarengi dengan cara atau [perkara haram seingga hukumya haram. Contoh sholat memakai dari baju hasil menggosob dll.

  1. Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
  1. Macam-Macam Hukum Wadh’i
  1. Sebab, adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78,
   
artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.”
Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
  1. syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6
     
artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
  1. Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
  1. Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
  2. Bathil, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.












BAB III
PENUTUP
    1. KESIMPULAN
    1. Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
    2. Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
    3. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
    4. Hukum wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah dan bathil.










DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Syafi’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.
Khalaf, Abdul, Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
Khallaf, Abd al-Wahhab Al-Syeikh, Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: dar al-Qalam, 1983, Cet. XV.















1 Amir Syarifuddin,. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu

2 Rachmat Syafi’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia

 

HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS


BAB I
PENDAHULUAN
    1. Latar Belakang
Pembahasan tentang pembagian hadits dilihat dari segi kualitasnya tentu tidak akan lepas dari pembahasan mengenai pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya, yakni dibagi menjadi hadits mutawatir dan ahad sebagaimana telah terbahas oleh pemakalah sebelumnya. Hadits mutawatir memberikan pengertian yakin bi al-qath'i bahwa nabi Muhammad SAW benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan iqrar (persetujuan)-nya di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat untuk berdusta kepada Rasulullah SAW. Karena kebenaran sumber-sumbernya telah menyakinkan, maka hadits mutawatir ini harus diterima dan diamalkan tanpa perlu lagi mengadakan penelitian dan penyelidikanm, baik terhadap sanad maupun matan-nya. Berbeda dengan hadits ahad, yang hanya memberikan pengertian (prasangka yang kuat akan kebenarannya) mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun matan-nya, sehingga status hadits ahad tersebut menjadi jelas, apakah dapat diterima menjadi hujjah atau ditolak.



    1. Rumusan masalah
Dari uraian permasalahan tersebut di atas, kemudian para ulama ahli hadits ditinjau dari segi kualitasnya menjadi dua, yaitu :
  • hadits maqbul dan
  • hadits mardud.

    1. Tujuan
  1. Untuk mengetahui pengertian hadits-hadits maqbul.
  2. Untuk mengetahui pengertian hadits-hadits yang mardud.














BAB II
PEMBAHASAN
HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS

    1. Hadits Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti ma'khud (yang diambil) dan mushoddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah adalah :
ما توافرت فيه جميع شروط القول1
"Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan".
Syarat-syarat penerimaan suatu hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanad-nya, yaitu sanad-nya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang 'adil lagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matan-nya tidak syadz dan tidak berillat.
Dalam pada itu, tidak semua hadits maqbul boleh diamalkan, akan tetapi ada juga yang tidak boleh diamalkan. Dengan kata lain, hadits maqbul ada yang ma'mulun bih yakni hadits yang bisa dimalkan dan ada yang ghoiru ma'mulun bih yakni hadits yang tidak bisa diamalkan. Yang ma'mulun bih adalah hadits yang muhkam, yakni hadits yang telah memberikan pengertian jelas, mukholif yakni hadits yang tidak dikompromikan dari dua buah hadits atau lebih, yang secara lahiriyah mengandung pengertian bertentangan, rajah yakni hadits yang lebih kuat, dan hadits nasikh, yakni hadits yang menasakh terhadap hadits, yang datang terleih dahulu. Sedangkan yang ghoiru ma'mulun bih adalah hadits marjuh, yakni hadits yang kehujjahannya dikalahkan oleh hadits yang lebih kuat; mansukh, yakni hadits yang telah dinasakh (dihapus), dan hadits mutawaquf fih, yakni hadits yang kehujjahannya ditunda, kaean terjadi pertentangan antara satu hadits boleh dengan lainnya yang belum bisa diselesaikan.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, maka hadits maqbul terbagi ke dalam hadits sahih dan hasan. Selanjutnya akan dibahas pada uraian berikunta.

    1. Hadits Mardud
Mardud menuru bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak diterima. Sedangkan mardud menurut istilah ialah :
فقد تلك الشروط او بعضها
"Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadits maqbul".
Tidak terpenuhinya persyaratan dimaksud, bisa terjadi pada sanad dan matan. Para ulama' membagi hadits jenis ini menjadi dua yaitu hadits dha'if dan hadits maudhu'.
Pada akhirnya, pembagian hadits dilihat dari diterima-tidaknya dibagi menjadi tiga, yaitu : hadits sahih, hasan dan dha'if.



    1. Hadis Sahih
  1. Pengertian Hadis Sahih
Sahih menurut bahasa lawan dari kata saqim (sakit). Kata sahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti "sah; benar, sempurna sehat (tiada segalanya); pasti". Pengertian hadis sahih secara definitif eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadis dari kalangan al-Mutaqaddimin (sampai abad III H). Mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan mengenai kriteria penerimaan hadis yang dapat dipegangi. Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah: "Tidak diterima periwayatan suatu hadis kecuali yang bersumber dari orang-orang yang tsiqqat, tidak diterima periwayatan suatu hadis yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiaanya".
Gambaran mengenai pengertian hadis sahih menjadi lebih jelas setelah imam syafi'i memberikan ketentuan bahwa riwayat suatu hadis dapat dijadikan hujjah, apabila :
Diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya amalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur, memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafalnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafal, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafal, bunyi hadis yang diriwayatkan sama dengan bunyi hadis yang diriwayatkan oleh orang lain dan terlepas dari tadlis (menyembunyikan cacat).
Rangkaian riwaytnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW, atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
Dilihat dari pernyataan seperti ini, imam syafi'i dipandang sebagai ulama yang mula-mula menetapkan kaidah kesahihan hadis. Pendapat ini dangat logis, sebab bila dikaji pernyataan imam Syafi'i tersebutbukan hanya berkaitan dengan sanad, akan tetapi berkaitan juga dengan matannya. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan tentang keharusan mengetahui hadis yang diriwayatkan dengan lafadz sebagimana di atas. Sehingga dengan criteria-kriteria seperti ini, kiranya sulit dikatakan bahwa hadisnya tidak sahih.
Bukhari dan Muslim sebagai ahli hadis dan hadis-hadisnya sebagai hadis yang sahih ternyata belum membuat definisi hadis sahih secara tegas. Namun, setelah para ulama mengadakan penelitian mnengenai cara-cara yang ditempuh oleh keduanya untuk menetapkan suatu hadis yang biasa dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran criteria hadis sahih menurut keduanya. Kriteria-kriteri dimasud adlah :
  • Rangkaian perawi dalam sanad harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir.
  • Para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqat, dalam arti adil dan dhabit.
  • Hadisnya terhindar dari illat (cacat) dan syadz (janggal).
  • Para perawi yang terdekat harus sezaman.
Hanya saja di antara keduanya terjadi perbedaan pendapat mengenai persambungan sanad. Menurut Bukhari, sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi, tidak cukup hanya sezaman (al-Mu'asarah). Sebaliknya menurut Muslim, apabila antara perawi yang terdekat hidup sezaman, maka sanadnya sudah dikategorikan bersambung.
Di samping persyaratan yang telah disepakati tersebut, sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa Bukhari juga menetapkan syarat terjadinya periwayatan harus dengan cara as-Sama'. Dengan demikian, dijelaskan bahwa persyaratan hadis sahih yang ditetapkan oleh Bukharilebih ketat daripada persyaratan yang ditetapkan oleh Muslim.
Pengertian hadis sahih secara terminologis baru jelas setelah ulama muta'akhirin mendefinisikan secara konkrit, seperti yang telah didifinisikan oleh imam an-Nawai sebagai berikut :

ما اتصل سنده بالعدرل الضابطين من غير شذرذ رلا علة
."Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak ber-illat".
Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang dikemukakan oleh para ulama, yang memiliki redaksi yang berbeda-beda, tetapi pada prinsipnya mempunyai kesamaan maksud.

Dari beberapa definisi tentang hadis sahih yang telah disepakati oleh para ulama ahli hadis dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadis sahih adalah :
  1. Sanadnya bersambung
Yang dimaksud dengan sand bersambung ialah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung seperti itu sampai akhir sanad dari hadis itu.
  1. Perawinya 'adil
Kata adil, menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus dan jujur. Seseorang bisa dikatakan adil apabila pada dirinya terdapat sifat yang mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah agama dan meningglkan larangannya, dan terjaganya sifat muru'ah, yaitu senatiasa berakhlak baik dalam segala tingkah lakunya.
  1. Perawinya Dhabit
Kata dhabith menurut bahasa berarti yang kokoh, yang kuat, yang hafal dengan sempurna. Seseorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingatan dengan sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.
  1. Tidak Syadz (janggal)
Yang dimaksud dengan syadz ialah hadis yang bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Ini pengertian dipegang oleh asy-Syafi'i dan kebanyakan diikuti oleh para ulama lainnya.
  1. Tidak ber-illat (ghairu al-Mu'allal)
Kata illat yang bentuk jamaknya 'ilal atau al-'Ilal, menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Dengan pengertian ini bahwa yang dimaksud dengan hadis ber-illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya. Menurut istilah 'illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau yang samara-samar, yang karenanya dapat merusak kesahihan hadis tersebut. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadis tersebut terlihat sahih. Adanya kesamaran pada hadis tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak sahih. Dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang tidak berillat ialah hadis-hadis yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
    1. Hadis Hasan
  1. Pengertian Hadis Hasan
Kata hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu yang menurut bahasa berarti:
ما تشتهبه النفس وتميل إليه
"Sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan jiwa atau nafsu".Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan ini. Perbedaan pendapat iru terjadi disebebkan di antara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi di antara hadis sahih dan hadis dha'if, yang dapat dijadikan hujjah. Menurut sejarah ulama yang mula-mula memunculkan istilah "hasan" bagi suatu jenis hadis yang berdiri sendiri adalah imam at-Tirmidzi. Menurut at-Tirmidzi hadis hasan didifinisikan sebagai berikut:

كل حد بث يروى لايكون فىاسناده من يتهم بالكذ ب ولايكون الحد يث شاذا ويروى من غيروجه نحو ذلك.

"Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta,pada matannya tidak terdapat kejanggalan dan hadis itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya".
Definisi hadis hasan menurut at-Tirmidzi ini terlihat kurang jelas sebab bisa jadi hadis yang perawinya tidak tertuduh dusta dan matannya tidak terdapat kejanggalan disebut hadis sahih. Demikian hadis gharib, sekalipun pada hakikatnya terdapt hasan, tidak dapat dimasukkan definisi ini sebab definisi tersebut diisyaratkan tidak hanya melalui satu jalur periwayatan (mempunyai banyak jalan periwayatan).
Selain yang dikemukakan at-Tirmidzi, ada pula ulma lain yang mengemukakan definisi hamper sama, antara lain ath-Thibi ia mengemukakan definisi sebagai berikut:
مسند من قرب من درجة الثقة أر مرسل ثقة وروي كلا هما من غيروجه وسلم من شذوذ وعلة
"Hadis Musnad (muttashil dan marfu') yang sanad-sanadnya mendekat derajat tsiqah, atau hadis mursal yang (sanadnya) tsiqah, akan tetapi pada keduanya ada perawi lain, hadis itu terhindar dari syadz dan illat".
Baik at-Tirmidzi maupun ath-Thibi keduanya menyebutnya adanya sanad lain yang meriwaytakan hadis yang sama. Tambahan keterangan ini menujukkan bahwa hadits itu semula lemah atau dha'if dari sudut sanadnya, yang kemudian menjadi mkuat setelah ada sanadlain yang menguatkannya. Definisi seperti ini, adaah sesuai dengan definisi hadis Hasan lil-Ghairi (Hadis Hasan karena dibantu oleh keterangan lain).
Berbeda dengan kedua definisi di atas, Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan definisi sebagai berikut:

ما نقله عدل قليل الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ
"Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat (cacat dan tidak syadz (janggal)".
Ibun Hajar al-Asqalani tidak mengemukakan adanya kelemahan sanad-sanadnya, tetapi adanya kekurang sempurnaan hafalannya. Definisi ini nampaknya lebih ketat dalam memberikan batasan tentang hadis hasan. Al-Asqalani tidak mengemukakan tambahan definisi tentang adanya sanad lain terhadap hadis yang diriwayatkannya sehingga untuk memasukkan hadis tersebut kepada hadis hasan ia tidak mensyaratkan adanya syahid atau muttabi'. Definisi seperti ini sesuai dengan hadis hasan li-Dzatih.
  1. Syarat-syarat hadis hasan
  1. Sanadnya bersambung
  2. Perawinya 'adil
  3. Perawinya dhabit, tetapi ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-annya perawi hadis sahih.
  4. Tidak terdapat kejanggalan (syadz).
  5. Tidak ada illat (cacat).
  1. Pembagian hadis hasan
Para ulama ahli hadis mebagi hadis hasan menjadi dua bagian, yaitu hasan li dzatih dan hasan li ghairih. Yang dimaksud dengan hadis hasan li dzatih ialah hadis yang memenuhi persyaratan hadis hasan (sebagaimana definisi yang dikemukakan as-Qalani di atas). Dengan demikian, pengertian hadis hasan li dzatih sama dengan pengertian hadis hasan seperti yang telah diuraikan di natas.
Adapun yang dimaksud dengan hadis hasan li ghairih ialah hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan hadis hasan secara sempurna atau pada dasarnya hadis tersebut adalah hadis dha'if, tetapi karena ada sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi'), maka kedudukan hadis dha'if naik menjadi hadis hasan li ghairih.
Kehujjahan hadis sahih dan hadis hasan Para ulama sependapat bahwa seluruh hadis sahih (baik sahih li dzatih maupun sahih li ghairih) dapat dijadikan sebagai hujjah. Mereka juga sependapat bahwa hadis hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih juga dapat dijadikan hujjah. Hanya saja mereka hanya berbeda pandangan dalam masalah penempatan rutbah, yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing.
Para ulama yang berusaha membedakan kehujjahan hadis berdasarkan perbedaan kualitas, mereka lebih jauh membedakan rutbah hadis-hadis tersebt berdasarkan kualitas para perawinya, yaitu sebagai berikut:
  • Pada urutan pertama, mereka menempatkan hadis-hadis riwayat Mtaffaq alaih (hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
  • Urutan kedua, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari.
  • Urutan ketiga, Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Muslim.
  • Urutan keempat, hadis-hadis yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim.
  • Urutan kelima, hadis-hadis yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari.
  • Urutan keenam, hadis-hadis yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Muslim.
  • Urutan ketujuh, hadis-hadis yang diriwayatkan tidak berdasarkan kepada salah satu syarat dari Bukhari dan Muslim.
Penempatan hadis-hadis tersebut berdasarkan urutan-urutan di atas, akan terlihat keguanaanya ketika terlihat adanya pertentangan (ta'arud) antara dua hadis. Hadis-hadis yang menempati urutan pertama dinilai lebih kuat daripada hadis-hadis yang menempati urutan kedua atau ketiga, begitu juga hadis-hadis yang menempati urutan ketiga dinilai lebih kuat daripada hadis-hadis pada urutan keempat atau kelima dan begitu juga seterusnya.
    1. Hadis Dha'if
  1. Pengertian Hadis Dha'if
Kata dha'if menurut bahasa, berarti yang lemah, sebagai lawan dari kata qawiy yang kuat. Sebagai lawan dari kata sahih, kata dha'if juaga mempunyai arti saqim (sakiT. Maka sebutan hadis dha'if secara bahasa berarti hadis yang lemah, hadis yang sakit, atau yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama mendefinisikan dengan redaksi yang berbeda-beda. Akan tetapi, pada dasarnya mempunyai makna yang sama. Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat di bawah ni :
An-Nawawi mendefinisikan dengan :
ما لم يوجد شروط الصحة ولا شروط الحسن .
"Hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis sahihdan syarat-syarat hadis hasan."
Menurut Nur ad-Din 'Itr, bahwa definisi yang paling baik ialah :
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول.
"Hadis yang hilang salah satu syaratnya darisyarat-syarat hadis maqbul (hadis sahih atau hadis hasan)".
  1. Sebab-sebab hadis dha'if tertolak
Para ahli hadis mengemukakan sebab-sebab tertolaknya ini bisa dilihat dari dua jurusan, yaitu:
  • Sanad Hadis
Dari sisi sanad hadis ini terperinci ke dalam dua bagian :
  1. Ada ketentuan pada perawinya baik meliputi keadilannya atau kedhabitannya.
  2. Sanadnya tidak bersambung
  • Matan Hadis
  1. Hadis Mauquf
  2. Hadis Maqthu'
  1. Macam-macam hadis dha'if
Berdasarkan sebab-sebab di atas, maka macam-macam hadis dha'if dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  1. Pada sanad
  1. Dha'if karena tidak bersambung sanadnya
  1. Hadis Munqhati' ialah :
ما سقط من سنده راو واحد فى موضع أو أكثر أو ذكر فيه راو مبهم
"Hadis yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih atau pada sandnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya".
  1. Hadis Muu'allaq, yaitu :
هو الذي ما خذف من اول اسناده واحد فأكثر على التوالى
"Yaitu hadis yang rawinya digughurkan seorang atau lebih diawal sanadnya secara berturut-turut".
  1. Hadis Mursal, ialah hadis yang gugur sanadnya setelah tabi'in. Al-Hakim
merumuskan definisi hadis mursal dengan :
ما رفعه التابعى الى الرسول ص. م. من قول او فعل او تقرير صغيرا كان اوكبيرا
" Hadis yang disandarkan (langsung) oleh tabi'in kepada Rasul SAW, baik berupa perkataan, perbuatan mtaqrirnya, tabi'in tersebut baik termasuk tabi'in kecil maupun tabi'in besar".
Dari definisi tersebut, kemudian muncul dua macam hadis mursal, yaitu :
  1. mursal al-Jali : tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat tersebut dilakukanoleh tabi'in besar.
  2. mursal al-Khafi : pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi'in yang masih kecil.
  1. Hadis Mu'dhal, yaitu :
كا سقط من سنده راويان متتاليان او اكثر
" Hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih, secara berturut-turut".
  1. Hadis Mudallas, adalah :
ما روي على وجهيوهم انه لا عيب
"Hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadis itu tiada bernoda".
  1. Dha'if karena tiadanya syarat adil
  1. Hadis al-Maudhu', yaitu hadis yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.
  2. Hadis Matruk dan Munkar
Hadis Matruk ialah:
الحديث الذى رواه راو واحد متهم بالكذب فى الحديث او ظاهرالفسق بفعل او قول او اكثرالغفلة او كثير الوهم
"Hadis yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadis yang diriwayatkannya), atau nampak kefasikannya, baik pada perbuatan atau pada perkataannya, atau orang yang banyk lupa atau banyak ragu".
  1. Dha'if karena tiadanya dhabit
  1. Hadis mudraj, yaitu:
الحدبث الذي يطلع فيه على زيادة ليست منه
"Hadis yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadis".
  1. Hadis Maqlub, ialah:
الحديث الذي انقاب على احد الرواة لفظ فى المتن او اسم رجل او نسبه فى الإ سناد فقدم ما حقه
التأخير او اخر ما حقه التقديم او وضع شيئ مكان شيئ
"Hadis yang lafaz matanya tertukar pada oleh salah satu perawi, atau seseorang pada sanadnya. Kenudian disebutkannya dalam penyebutannya, yang seharusnya disebut belakngan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannyasesuai pada tempat yang lain".
  1. Hadis Mudhtharib, menurut al-Suyuthi ialah:
هو الذي يروى اوجه مختلفة من راو واحد مرتين از اكثر, او من راوييناو رواة متقاربة.
"Hadis yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda-beda padahal ari satu perawi (yang meriwayatkan) dua atau lebih, atau dari dua perawiatau lebih yang berdekatan(dan tidak bisa ditarjih)".
  1. Hadis Mushahhaf dan Muharraf. Pengertian hadis Mushahhaf yaitu;
ما وقع فيه التغيير فى اللفظ او المعنى
"Terjadinya perubahan redaksi hadis dan maknanya".
Sedangkan pengertian hadis Muharraf ialah:
ما وقعت المخالفةفيه يتغييرالشكل فى الكلمة مع بقاء صورة الخط
"Hadis yang perbedaanya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya".
  1. Dha'if karena kejanggalan dan kecacatan
  1. Hadis Syadz, adalah:
كا رواه المقبول مخالفا لرواية من اولى منه
"Hadis yang diriwyatka oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kalitasnya lebih utama".
  1. Hadis Mu'allal yaitu:
هو الذي اكتشفت فيه علة قاد حة بعد البحث والتبع وان كن ظاهره سلا مة
"Yaitu hadis yang diketahui 'illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat (tidak cacat)".
b. Pada matan
Para ahli hadis memasukkan ke dalam kelompok hadis dha'if dari sudut persandarannya ini adalah hadis yang mauquf dan yang maqthu'.
  1. Hadis Mauquf, ialah :
ما روي من الصحابيمن قول له او فعل او تقرير متصلا كان او متقطعا
"Hadis yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrirnya. Periwayatannya, baik bersambung atau tidak".
  1. Hadis Maqthu', ialah:
ما روي عن التابعين موقوفاعليهممن اقوالهم وافعالهم
"Hadis yang diriwayatkan oleh tabi'in dan disandarkan kepadanya, baik perkatan maupun perbuatannya". Dengan kata lain hadis maqthu' adalah perkataan dan perbuatan tabi'in.
Kemungkinan hadis dha'if menjadi hasan
Hadis dha'if bisa naik derajatnya menjadi hadis hasan (li ghairih) bila satu riwayat dengan yang lainnya sama-sama saling menguatkan. Akan tetapi ketentuan ini tidak bersifat muthlaq. Karena ketentuan ini berlaku pada perawi yang lemah hafalannya, akan tetapi kemudian ada hadis dha'if lain yang diriwayatkan oleh perawi yang sedrajat pula. Hadis tersebut bisa naik derajatnya menjadi hasan.
Sementara bila ke-dha'if-annya karena perawinya disifati fasiq dan tertuduh dusta maka ke-dha'if-an tadi tidak bisa terangkat.
Penerimaan dan pengamalannya hadis dha'if
Hadis dha'if ada kalanya tidak bisa ditolelir ke-dha'if-annya—misalnya karena ke-maudhu'-annya, ada juga yang bisa tertutupi ke-dha'if-annya (karena ada factor lainnya). Untuk yang pertama tersebut, berdasarkan kesepakatan para ulama hadis, tidak diperbolehkanmengamalkannya baik dalam penetapan hokum-hukum, akidah maupun fadhail al-a'mal.
Sementara untuk jenis yang kedua da yang berpendapat menolak secara muthlaq, baik untuk penetapan hukum, akidah maupun fadhail al-a'mal, dengan alas an karena hadis dha'if tidakdapat dipastikan datang dari Easulullah SAW.










BAB III
PENUTUP

    1. KESIMPULAN
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
  1. Hadits dilihat dari segi kualitasnya dapat di bagi menjadi dua, yaitu :
  1. Hadits maqbul yaitu : ma'khud (yang diambil) dan mushoddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah adalah : "Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan". yaitu sanad-nya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang 'adil lagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matan-nya tidak syadz dan tidak berillat.
  2. Hadits mardud yaitu : Mardud menuru bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak diterima. Sedangkan mardud menurut istilah ialah : "Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadits maqbul". Tidak terpenuhinya persyaratan dimaksud, bisa terjadi pada sanad dan matan. Para ulama' membagi hadits jenis ini menjadi dua yaitu hadits dha'if dan hadits maudhu'.





DAFTAR PUSTAKA

Al-hadid, Ibnu Abu. 1998. Syarah Nahju Al-Balaqhah. Cet. Ke-1. Juz 3. Ed. Muhammad Abdul Karim An-Namiri. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
Al-Hafnawi, M. Ibrahim. 1991. Dirasat Ushuliyyah fi As-Sunnah An-Nabawiyyah. Cet. Ke-1. Cairo: Dar Al-Wafa.
Hasyim, Ahmad Umar. Tth. As-Sunnah An-Nabawiyyah Wa ‘Ulumuha. Cairo: Maktabah Gharib.
1 Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut : Dar al-Fikr, 1997), Cet. Ke-6, hlm. 17