DOKUMEN MANBA'UL ULUM

DOKUMEN MANBA'UL ULUM
sejarah pengarsipan

Minggu, 18 Desember 2011

aswaja, pengaktualan kembali aswaja



RESUME
ASWAJA
LATAR BELAKANG PENGAKTUALAN KEMBALI AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH


DISUSUN OLEH : Kelompok II

AGUS MAKMUN ROSID NPM : 10210266




















SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO - LAMPUNG
TAHUN 2011






Kata Pengantar


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta inayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah Aswaja.
Banyak terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat gandakan amal baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu yang berguna bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala kekurangan yang ada pada kami dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran yang membangun yang bisa menjadi kami lebih baik sangat kami nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga Allah SWTsenantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.


Metro, 24 Juli 2011
Penulis



DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Tujuan Penulisan 1
C. Batasan Pembahasan 1

BAB II Latar Belakang Pengaktualan Kembali Aswaja 2
A. Latar Belakang Lahirnya Aswaja 2
B. Ruang Lingkup Aswaja 5

BAB III Penutup 9
A. Kesimpulan 9


DAFTAR PUSTAKA 10



BAB I
PENDAHULUAN


  1. Latar belakang makalah
Ahlussunah wal jama’ah adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh nabi Muhammad saw. Dan para sahabatnya. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat islam yang berakidahkan ahlussunah wal jama’ah untuk menjaga kemurnian dan melestarikan amalan amalan aswaja, baik dibidang aqidah, syariah, mu’amalah, ekonomi, budaya serta dakwah dan sebagainya.
Untuk lebih lanjut penulis ingin mengetahui sejauh mana pemahaman penulis tentang aswaja.maka berikiut penulis uraikan tentang aswaja.

  1. Tujuan penulisan
Selain bertujuan untuk mendalami pemahaman tentang aswaja, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen matakuliah aswaja di stai ma’arif metro lampung tahun 2011.

  1. Batasan pembahasan
Dalam penulisan makalah ini penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut.
  • Aswaja
  • latar belakang lahirnya aswaja
  • ruang lingkup aswaja

BAB II
LATAR BELAKANG PENGAKTUALAN KEMBALI
AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH


  1. Latar belakang lahirnya ahlussunah wal jama’ah
Dari segi bahasa, ahlussunah berarti penganut nabi, sedangkan ahlul jamaahberarti penganut kepercayaan jamaah para sahabat nabi. Karena itu kaum “ahlussunah wal jama’ah” adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh nabi Muhammad saw. Dan para sahabatnya. Kepercayaan nabi dan sahabat sahabatnya itu telah termakjub dalam al-qur’an dan assunah nabi secara terpencar pencar. Yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh ulama’ besar, yaitu syeikh abu al-hasan al-asy’ari ( lahir di basyrah tahun 260 H dan wafat dikota di Bagdad seperti yang dikatakan Ibnu ‘Asakir (w. 571 H.)1.

Menurut Dr. jalal Muhammad musa dalam karyanya nasy’ah al-asy’ariyah wa tathawwuriha, istilah ahlussunah wal jama’ah mengandung dua konotasi ‘amm ( umum/global) dan khashsh (khusus/pesifik). Dalam makna ‘amm, ahlussunah wal jamaah adalah pembanding syi’ah, termasuk mu’tazilah dan kelompok lainnya. Sedangkan makna khashsh adalah kelompoknya asy’ariyah ( pengikut madzhab imam abu al-hasan al-asy’ari ) dalam pemikiran kalam.

Dr. ahmad Abdullah at-thayyar dan dr. Mubarak hasan husayn dari universitas al azhar mengatakan bahwa ahlussunah wal jama’ah adalah orang orang yang mendapat petunjuk allah swt, dan mengikuti sunah rosul, serta mengamalkan ajaran yang terdapat di dalam al-qur’an dan sunah secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj ( jalan pikiran ) dan tingkah laku dalam kehidupan sehari hari.

Artinya : apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. 2

Dengan arti seperti diatas, apa yang masuk dalam kelompok halussunah waj jama’ah, pertama tama adalah para sahabat nabi, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in, serta semua orang yang mengikuti jalan nabi Muhammad saw. Sampai hari kiamat kelak.
Al-ustadz abu al-faidl ibn as-syeikh abd al syakur al-sanori dalam karyanya kitab al-kawakib al-lamma’ah fi tahqiq al musamma bi ahli assunah wal jama’ah menyebut ahlussunah wal jamaah menyebut kelompok atau golongan yang senantiasa setia mengikuti sunah nabi Muhammad saw. Dan petunjuk para sahabatnyadalam aqidah. Amaliah fisik (fiqh) dan ahlaq batin (tasawwuf). Kelompok itu meliputi ulama’ kalam (mutsksllimun), ahli fiqih (fuqoha’) dan ahli hadits (muhadisin) serta ulama’ tasawwuf ( shufiyyah).
Jadi ahlussunah wal jamaah menurut ‘urf khashsh (adat kebiasaan) adalah kelompok muhaddisin, syufiyah, asy’ariyah, dan maturidiyah. Pengikut mereka inilah yang kemudian juga dapat disebut ahlussunah wal jamaah, dan selainnya tidak, dalam konteks ‘urf khashsh tadi. Adapun menurut pengertian ‘amm ahlussunah wal jamaah adalah kelompok atau golongan yang senantiasa setia melaksanakan sunah nabi. Dan petunjuk para sahabatnya. Dengan kata lain, substabsi ahlussunah wal jamaah adalah mereka yang memurnikan sunnah, sedangkan lawannya adalah ahli bid’ah (ahli al-bid’ah).
Ahmad amin dalam zuhr al-islam, juga menjelaskan bahwa sunah dalam istilah ahl al sunah berarti hadits. Oleh karena itu, berbeda dengan kaum mu’tazilah, ahlussunah percaya terhadap hadits hadits shahihtanpa harus memilih dan umumnya/ mayoritas umat islam (‘ammah al muslimin) serta jamaah besar dan khalayak ramai (al jama’ah al-katsir wa al-sawad al-a’zham) secara lebih terperinci, al-baghdadi menegaskan bahwa ahlussunah wal jamaah terdiri dari 8 kelompok besar, yaitu : mutakallimin, fuqaha’, ahli hadits, ahli bahasa, ahli qira’at, sufi atau zahid, mujahid dan masyarakat awam yang berdiri dibawah panji panji ahlussunah wal jamaah.
Dua definisi ini menggambarkan adanya definisi yang bersifat terminologis (ishthilahy) dan definisi yang bersifat stubstanitif. Ini artinya dalam istilah ahlussunah wal jamaah ada aspek jawhar atau hakikat atau aspek ‘ardl atau formal. Dalam dua aspek ini, apa yang mendasar adalah aspek jawharnya, sedangkan aspek ardl nya dapat mengalami revitalisasi dan pembaharuan, karena terkait dengan faktor historis.
Sepertidiketahui, istilah ahlussunah wal jamaah muncul berkaitan dengan munculnya madzhab madzhab, sehingga ketika hasil pemikiran madzhab yang bersifat relatif, atau tidak absolute itu mengalami revitalisasi, maka pengertian ahlussunah wal jamaah pun harus dikembalikan kepada arti substansinya.
Paham yang membendung paham syi’ah (dalam konteks historis juga paham aqidah mu’tazilah) yang dinilai sebagai kelompok bid’ah, yakni kelompok yang melakukan penyimpangan dalam agama karena lebih mengutamakan akal daripada naql (al-qur’an) dalam merumuskan paham keagamaan islamnya.
Dengan demikian, pengertian ahlussunah wal jamaah secara substantif adalah kelompok yang setia terhadap sunnah, dengan menggunakan manhaj berfikir mendahulukan nashsh daripada akal. Sebagai gerakan, sebelum diinstitusikan dalam bentuk madzhab, kelompok ini melakukan pembaruan seperti adalah pengikut imam al-asy’ari (al-asy’ariyah).
Tersebut pula dalam kitab “ihtihaf sadatul muttaqin” karangan imam Muhammad bin Muhammad az-zabidi, yaitu syarah dari kitab “ihya’ ulumuddin” karangan imam al-ghazali pada jilid II pagina 6 yaitu :


Artinya : apabila disebut kaum ahlussunah wal jama’ah, maka artinya ialah orang orang yang mengikuti rumusan (faham) asy’ariyah dan faham abu mansyur al-maturdi”.
Dari beberapa penjelasan diatasdapat ditarik kesimpulan latar belakang pengaktualan kembali ahlussunah wal jamaah sejak munculnya faham ahlussunah wal jamaah yang dibawa dan dipopulerkan oleh syaih abu hasan al asy’ari dan syaih abu mansyur al maturdi sejak abad III H.

  1. Ruang lingkup aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah lslam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek Akidah, Fiqih dan Akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek Akidah. Aspek ini krusial kareba pada dasarnya Mu'tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus fitnah yang cukup menimbulkan keresahan umat Islam.
Ketika Imam Al-Asyari tampil berkhotbah menamampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagi koreksi, atas demikiran teologi Mutazilah dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, akan dengan serta merta masyarakat dalam menyambut dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy'ariyah dan terinstruksikan dalam bentuk madzhab Asy’ari.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dan disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy'ariyah atau Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab empat dan dalam tasawuf adalah al-Ghozali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang Iingkup yang kedua adalah syari'ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu'amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah SWT, dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Dalam konteks historis, ruang Iingku yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dan empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Secara substantif, ruang Iingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dan empat madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui Al-Quran, Hadits, Jima dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdimul al-Nash 'ala al-'Aql (mengedepankan Nash dari pada akal piiran).
Ruang lingkup ketiga dan Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang Iingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkupyang ketiga ini dalam dalam diskusi islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan ssedangkan Islam menggambarkans yariah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. Mi yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari'at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang Iingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang ke empat sehingga keberadaannya sama.
Dengan demikian keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang keduq dalam membentuk insane kamil. Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil diantara kelompok dan madzhab dalam Islam. Pertama dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Quran dan AS-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.
Kedua, para ulama dan masing-masingk elompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah SWT, kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi mereka berbeda dalam beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda didalam manhaj bepikirnya terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan teks-teks sunnah.
3. Bidang Istinbath Al-Hukm (Pengambilan Hukum Syari'ah)
Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
a) AI-Qur'an
b) As-Sunnah
c) Ijma'
d) Qiyas
AI-Qur'an sebagais sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath alhukum) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. A l-Qur'an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam. Sementara As –Sunnah meliputi Al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi'in. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma' Shahabat. Menurut Abu Hasan AU Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Uma' adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahi al-haiti wa ai-aqdz) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dan suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukalaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Dalam AI-Qur'an dasar ljma' terdapat dalam QS An-Nisa',4: ll5.
Menurut Syekh Abu at-Fadl ibn Syekh 'Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya "Al- Kawakib al-Lamma'ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al- Sunnah wa al-Jama'ah" (kitab ini telab disahkan oleh Muktamar NU ke XXIII di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama'ah sebagi kelompok atau golongany ang senantiasak omitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh 'Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunah Wal Jama’ah sebagai berikut : "Yang dimaksud dengan A-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau).
Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian fama'ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah."

BAB II
PENUTUP


  1. KESIMPULAN
Dari pembahasanm Makalah di atas maka penulis dapat menyimpulkan:
  1. Menurut para ahli sejarah, firqoh-firqoh dalam Islam timbul pada akhir pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan. Ketika itu, tampil Abdullah Ibnu Saba' s eorang pendeta Yahudi asal Yaman yang mengaku Islam.
  2. Ahlussunnah wal jama'ah muncul pada abad ke tiga Hijriah. Yang dianggap berjasa mempopulerkan kembali adalahI mam Abu HasanA l-Asy'ari dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi, Imam Hasan lahir di Basrah (Iraq) pada tahun 260H/873M dan wafat pada tahun 571H/935M.
  1. Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial karenap ada saat M u'tazilah dijadikan paham keagamaan resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus fihnah yang cukup menimbulkan keresahan umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Suyoto,1998,PendidikanA swaiadon Ke-NU-anJ ilid 2, Lampung Tengah: PCLP. Ma'arifNu.
Amirudin, dkk. 2009., Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an, Lampung : DW Lembaga Pendidikan M a'arif NU Lampung.




















RESUME
ASWAJA
PENGERTIAN AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH


DISUSUN OLEH : Kelompok I

AGUS MAKMUN ROSID NPM : 10210266




















SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO - LAMPUNG
TAHUN 2011






Kata Pengantar


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta inayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah Aswaja.
Banyak terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat gandakan amal baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu yang berguna bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala kekurangan yang ada pada kami dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran yang membangun yang bisa menjadi kami lebih baik sangat kami nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga Allah SWTsenantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.


Metro, 24 Juli 2011
Penulis




DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Tujuan Penulisan 1
C. Batasan Pembahasan 1

BAB II Latar Belakang Pengaktualan Kembali Aswaja 2
A. Latar Belakang Lahirnya Aswaja 2
B. Ruang Lingkup Aswaja 5

BAB III Penutup 9
A. Kesimpulan 9


DAFTAR PUSTAKA 10


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar belakang makalah
Menurut terminologi para Muhadditsin, Sunnah adalah segala napak tilas Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat kejadian nya (bentuk tubuhnya), akhlaknya maupun sejarah nya, baik sebelum kenabian maupun sesudahnya. Kedua, Para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan Sunnah sebagai “segala sesuatu yang dinukil dari Rasulullah, baik perkataan, perbuatan maupun taqrir”. Ketiga, menurut ulama Fiqh Sunnah sebagai suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, kebalikan dari fardlu atau wajib menurut mereka. Keempat, Sunnah juga diidentikkan terhadap segala yang ditunjuk oleh dalil-dalil Syar’i, baik Alqur’an, Hadits ataupun Ijtihad Sahabat
Untuk lebih lanjut penulis ingin mengetahui sejauh mana pemahaman penulis tentang aswaja.maka berikiut penulis uraikan tentang aswaja.

  1. Tujuan penulisan
Selain bertujuan untuk mendalami pemahaman tentang aswaja, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen matakuliah aswaja di stai ma’arif metro lampung tahun 2011.

  1. Batasan pembahasan
Dalam penulisan makalah ini penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut.
  • Aswaja
  • Pengertian Aswaja
BAB II
Pengertian Aswaja


Secara etimologi, “As-Sunnah” berarti “cara” atau “jalan”, baik cara atau jalan itu benar atau salah, terpuji atau tercela.9 Hadits Rasulullah dalam pengerti-an ini, adalah: “Barangsiapa yang me-rintis sebuah jalan kebaikan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudah nya, maka ia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang pengikut nya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala para pengikut tersebut. Begitu pula sebaliknya, orang yang merintis jalan kesesatan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapat dosa seperti dosa-dosa para pengikutnya tanpa dikurangi sedikit pun beban dosa para pengikut tersebut”.
Adapun pengertian hadits secara terminologi mempunyai beberapa pe-ngertian antara lain: pertama, Menurut terminologi para Muhadditsin, Sunnah adalah segala napak tilas Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat kejadian nya (bentuk tubuhnya), akhlaknya maupun sejarah nya, baik sebelum kenabian maupun sesudahnya. Kedua, Para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan Sunnah sebagai “segala sesuatu yang dinukil dari Rasulullah, baik perkataan, perbuatan maupun taqrir”. Ketiga, menurut ulama Fiqh Sunnah sebagai suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, kebalikan dari fardlu atau wajib menurut mereka. Keempat, Sunnah juga diidentikkan terhadap segala yang ditunjuk oleh dalil-dalil Syar’i, baik Alqur’an, Hadits ataupun Ijtihad Sahabat, seperti pengumpulan mushaf dan pembukuan atau pengkodifikasian Hadits, temasuk di dalamnya Ijtihad sahabat sebagai Sunnah berdasar pada hadits Rasulullah SAW. berbunyi: “ ’Alaikum bi assunnatî wa sunnati al khulafâi ar râsyidîna al mahdiyyîn“. Kelima, Sunnah juga diidentikkan terhadap hal-hal yang berlawanan dengan Bid’ah.
Ahlusunnah wal jama’ah adalah salah satu jalan pendekatan diri kepada Allah SWT yang perpegang kepada 4(empat)
1.Al-Qur’an
2.Hadits
3.Ijma’
4. Qiyas
Arti Ahlussunnah wal jama’ah itu sendiri diambil dari Hadits Rasulullah SAW yang beliau sabdakan
Islam akan menjadi terbagi menjadi 73 golongan, satu golongan yang masuk surga tanpa di hisab”, sahabat berkata : siapakah golongan tersebut ya Rasulullah ?, Nabi bersabda “ Ahlussunnah wal jama’ah“.
Yang kita tanyakan, apa itu Ahlussunnah wal jama’ah ?
Semua golongan mengaku dirinya Ahlussunnah tetapi sebenarnya mereka bukan Ahlussunnah wal jama’ah karena banyak hal-hal yang mereka langgar yang mereka jalankan di dalam ajaran agama Islam, tetapi tetap mereka mengakui diri mereka yang benar. Sebenarnya kita harus mengetahui apa yang kita pelajari di dalam agama Islam atau yang kita amalkan di dalam Islam maka kita akan mengetahui kebenarannya di dalam ajaran Ahlussunnah wal jama’ah. Allah SWT telah mengucapkan di dalam surat Al Fatihah pada ayat yang 5 dan ayat yang ke 6, Allah SWT mengucapkan di dalam ayat yang ke 5 jalan yang lurus dan pada ayat yang ke 6 jalan-jalan mereka, yang kita tanyakan siapa mereka-mereka itu ?




Ulama Ahlussunnah wal jama’ah mereka bersepakat:
  1. Mereka adalah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya
  2. Penerus sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang dinamakan Tabi’in
  3. Tabi’-tabi’in adalah pengikut yang mengikuti orang yang belajar kepada
    sahabatRasulullahSAW.
  4. Danparaulamasholihin.
    Demikianlah beberapa defenisi tentang “Sunnah” dari berbagai pakar. Maka ketika kita membicarakan aqidah Ahlus sunnah, maka tak pelak lagi, bahwa yang dimaksudkan adalah aqidah yang telah dicontohkan (diajarkan) oleh Rasulullah dan para Sahabatnya. Dan selanjutnya, orang yang berpegang teguh dan konsisten terhadap aqidah tersebut dinamakan “Ahlussunnah”. Dan hanya aqidah seperti inilah yang disepakati keabsahannya oleh mayoritas ummat Islam, sehingga kata “Ahlussunnah” dilengkapi dengan kata “wal jama’ah” sesudahnya, menjadilah “Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah”. Dan hanya aliran inilah satu-satunya yang dijamin oleh Rasulullah selamat dari api neraka. Ketika hadits tentang “perpecahan ummat” dibaca oleh semua aliran dan sekte-sektenya dalam Islam, ketika itu, tampillah masing-masing dari mereka mengklaim dirinya sebagi “golongan selamat”. Ibnu al-Muthahhar dalam mengutip statemen gurunya, Nashir al-din Al-Thsusy, tokoh aliran Syi’ah Imamiyah, ketika ditanya tentang “golongan yang selamat” seperti yang tertuang dalam hadits Nabi: ”
    Sataftariqu ummatî ‘alâ tsalâtsi wasab’îna firqatan wâhidatun minhâ nâjiyah wal bâqi fi annâr“ ketika itu al-Thusy menjawab dengan mengutip salah satu hadits yang menurutnya shahih, berbunyi: “mitslu ahli baitî kamitsli safînatin nuh man rakabahâ najâ wa man takhallafa gharaqa“ Hadits tersebut, menurut Thusy, memberi indikasi bahwa satu-satunya aliran yang selamat adalah aliran Syi’ah Imamiah.
Ibnu Taimiah, salah seorang tokoh Salaf abad VII H. dengan tegas meng-counter sinyalemen Thusy di atas dalam buku- nya Minhaj al- Sunnah. Ibnu Taimiah --dalam mematahkan argumen Thusy --meninjaunya dari delapan aspek, dan pada point kelima, Ibnu Taimiah menjelaskan bahwasanya hadits Rasulullah SAW. menyangkut “aliran yang selamat” hanya berbunyi: “ man kâna ‘ala mitslî ma anâ ‘alaihi al yauma wa ashhâbî “ dan dalam riwayat lain berbunyi: “ Hum al jamâ’ah“. Menurut Ibnu Taimiah, justru hadits ini sendiri yang menolak eksistensi Syi’ah Imamiah sebagai aliran yang selamat. Sebab mereka dengan terang keluar dari jalur yang menjadi kesepakatan kaum Muslimin, seperti: menganggap kafir atau fasik Abu Bakar dan Umar, demikian halnya kepada tokoh ulama dan ahli ‘Ubbad mayoritas ummat lainnya. Adapun hadits yang disebutkan Thusy sebagai hadits shahih di atas masih perlu ditinjau keabsahannya sebab Imam Az-Dzahaby dan al-Albany sendiri menganggapnya sebagai hadits dhaif. Tapi yang masyhur adalah kalimat itu dari Imam Malik dengan konteks: “ As sunnatu mitslu safînatin nuh man rakabahâ najâ wa man takhalafa ‘anhâ halaka“.
Ibnu Taimiah dalam menjelaskan maksud perkataan ini beliau mengatakan: “Konteks ini benar, sebab orang-orang yang menumpang pada perahu Nabi Nuh a.s. hanyalah yang membenarkan kerasulan dan mengikutinya, sedangkan orang yang enggan menaiki perahu tersebut adalah orang-orang yang mendustakan kerasulan, maka mengikuti Sunnah berarti mengikuti kerasulan dengan segala konsekwensinya seperti halnya para penumpang perahu Nuh tersebut demikian pula sebaliknya”.
Selanjutnya, aliran Mu’tazilah tak ketinggalan mengklaim dirinya sebagai “Ahlul Haq” dan selanjutnya sebagai “Al-Firqah an-Najiah” (golongan selamat). Salah seorang tokoh terkemuka Mu’tazilah ‘Amr bin ‘Ubaid berkata kepada Khalifah al- Manshur: “ Adzharu al haq yattabi’uka ahluh” yang dia maksudkan “ahlu al haq” di sini adalah aliran Mu’tazilah dengan mengambil landasan dari sebuah riwayat Sufyan al-Tsaury dari Ibnu Zubair dari Jabir bin Abdullah dari Nabi SAW. berkata: “Sataftariqu ummatî ‘ala bidh’i wa sab’îna firqatan abirruhâ wa atqâha al fiah al mu’tazilah“
Demikianlah upaya kaum Mu’tazilah untuk membenarkan pendapatnya, sadar atau tidak, mereka melakukan dua hal yang kontradiksi dalam diri mereka sendiri, yaitu: mereka dengan tegas menetapkan tidak bolehnya berhujjah dengan hadits Ahad terhadap masalah-masalah i’tiqad, sementara hadits yang disebutkan di atas sama sekali tidak ditemukan di tempat yang lain. Setidaknya hadits tersebut --kalau memang benar-- diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, atau paling tidak disebutkan dalam kitab-kitab Sunan yang lain. Itu sebabnya, Dr. Muhammad Bakray mengatakan bahwa; “Kaum Mu’tazilah dalam ambisiusnya untuk membenarkan pendapat-pendapatnya, akhirnya hadits-hadits nabi diobral sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, walaupun hadits tersebut disepakati oleh Bukhari-Muslim. Demikianlah kondisi objektif aliran-aliran dalam Islam, tidak satupun dari mereka ingin ketinggalan, kecuali tampil mengibarkan panji fanatismenya sebagai pemilik otoritas kebenaran. Sebagai konsekwensi logis dari fanatisme tersebut, nash-nash religius --Alqur’an dan Hadits-- diselewengkan demi mempertahankan pendapatnya.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian diatas, maka penulis simpulkan bahwa, pengertian ahlussunah wal jamaah menurut etimologi adalah berarti “cara” atau “jalan”, baik cara atau jalan itu benar atau salah, terpuji atau tercela sedangkan menurut terminology adalah

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Jarir alThabary, Tahdzibul Atsar, (Makkah: Al-Shafa, th. 1402 H.), vol. II, hal. 182.
Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, al-Imam, (Dimsyaq: Al-Ummah), hal. 53.
Al-Imam Ahmad bin Hambal, Al-Sunnah dalam kitab (bab): Ar-Ra’d ‘ala al-Jahamiah, Kairo: Isa al-Halaby), hal. 33-34.
Prof Musthafa al-Syuk’ah, Islam Bila Madzahib, (Kairo: Musthafa al-Halaby), hal. 496
Keterangan selengkapnya, lihat: Ahmad Amin, Dhuhrul Islam, (Kairo: Dar al-Kitab al-’Araby), vol. IV, hal. 96.
Ibnu Mandzur, Lisan al-’Arab, (Beirut: Dar Shadir) vol. XIII, hal. 225.
Hadits riwayat Muslim, Kitab az-Zakah, No. hadits 1017.


























RESUME
ASWAJA
IMAM IBNU HAMBAL DALAM BERISTIMBAT HUKUM

DISUSUN OLEH :

AGUS MAKMUN ROSID NPM : 10210266




















SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO - LAMPUNG
TAHUN 2011








Kata Pengantar


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta inayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah Aswaja.
Banyak terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat gandakan amal baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu yang berguna bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala kekurangan yang ada pada kami dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran yang membangun yang bisa menjadi kami lebih baik sangat kami nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga Allah SWTsenantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.


Metro, 24 Juli 2011
Penulis



DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Tujuan Penulisan 1
C. Batasan Pembahasan 1

BAB II Latar Belakang Pengaktualan Kembali Aswaja 2
A. Latar Belakang Lahirnya Aswaja 2
B. Ruang Lingkup Aswaja 5

BAB III Penutup 9
A. Kesimpulan 9


DAFTAR PUSTAKA 10

BAB I
PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan salah satu agama samawi yang diturunkan kepada manusia yang penurunanaya melalui wahyu, sehingga wajar saja ketika memiki keistimewaan- keistimewaan dibandingkan dengan agama yang lain, khususnya dalam ke kekomlitan hukum yang ada dalamnya.

Hukum-hukum yang ada dalam agama islam pada dasanya terdiri dari dua tingkatan yaitu syariah dan fiqh, beda halnya dalam syariah tidak perlu adanya ijthad para mujtahid karena sebab dasarnya yaitu dalil-dalil muhkam, sedangkan fiqh kita tahu banyak sekali permasalahan yang baru dan belum jelas dan pasti tentang kedudukan hukum tersebut sehingga, para mujtahidpun mengerahkan tenaga dan pikiranya untuk memperjelas suatu hukum tersebut, akan tetapi dalam berijtihad para imam sangat mungkin untuk berbeda karena dasar dan cara istinbathnya yang berbeda. Contohnya istinbathnya imam Hambali yang akan dipaparkan berikut ini.

    1. Tujuan Penulisan
Selain bertujuan untuk mendalami pemahaman tentang aswaja, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen matakuliah aswaja di stai ma’arif metro lampung tahun 2011.

    1. Batasan Pembahasan
Dalam penulisan makalah ini penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut.
  • Pola Imam Ibnu Hambal Dalam Beristimbat Hukum

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pola Imam Ibnu Hambal Dalam Beristimbat Hukum
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhamad Ibn Hambal Ibn Asad Ibn Idris Ibn Abdullah Ibn Hasan Al-Syaibaniy. Ia lahir di Bagdad tahun 164 H / 780 M dan wafat pada tahun 241 H / 855 M, ibunya bernama Syarifah Maimunah Binti Abdul Hambali Ibn Sawadan Ibn Hindun Al-Syaibaniy, baik dari ayah dan ibu sama-sama dari bani syaiban, yaitu salah satu kabilah yang berdomisili di Semenanjung Arabia. Kebesaran Imam Hambali sebenarnya adalah karena ia sangat menghormati dan mencintai Nabi Muhammad SAW beserta Sunnahnya, dan karena Ia sangat mencintai nabi hingga ia senantiasa mencari ahli-ahli hadits dimanapun di dengarnya, untuk itu ia rela pergi dengan melakukan perjalanan yang jauh demi untuk mencari kebenaran hadits-hadits itu. Karena itulah ia sangat banyak sekali hadits-hadits yang ia hafal di luar kepala, berikut rawi-rawinya. Dan semua hadits yang ia dapat selalu dicari rawi dengan sejarah dan riwayat hidupnya.
Telah kita kenal bahwasanya Ahmad bin Hambal dikenal luas sebagai pembela hadits Nabi yang gigih. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang digunakannya dalam memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa atau sangat perlu dan sebatas tidak ditentukan hadits yang menjelaskannya.
Ibn Hanbal sangat berhati-hati tentang riwayat hadits, karena hadits sebagai dasar tidak akan didapatkan faedahnya tanpa memiliki riwayatnya. Dalam hal ini beliau berkata-kata “Barangsiapa yang tidak mengumpulkan hadits dengan riwayatnya serta pembedaan pendapat mengenainya, tidak boleh memberikan penilaian tentang hadits tersebut dan berfatwa berdasarkannya”. 3
Imam Hambali terkenal dengan imam dalam bidang hadits Rasulullah SAW. Imam hambali belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Hambali adalah imam negeri hijaz , bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits. Dan apabila dalam menerima hadist dan sudah di teliti oleh ia diketemukan baik dalam sejarah maupun rawinya kurang kuat kebenaranya maka ia akan tidak menggunakan hadits tersebut. Selanjutnya , fiqh Ahmad Ibn Hambal itu pada dasarnya lebih banyak di dasarkan pada al-Hadits, dalam artian setelah al-quran. Dengan melihat pemikiran imam Hambali seperti diatas, maka metode istinbath yang dipakai imam Hambali adalah sebagai berikut :

      1. Al-Quran, dan Al-Hadits
Apabila ia menemukan nash maka ia menggunakan nash tersebut, dan ia menfatwakanya, ia mendahulukan nash atas fatwa sahabat. nash yang dimaksud disisni adalah al-quran dan al-hadist, kedanya adalah sumber fiqh islam. Seluruh para sahabat dalam berpendapat akan berbeda akan tetapi dalam berpendapat tetap tidak keluar dari sumber pokok yaitu al-quran dan al hadist shohih.

Contoh Al-quran

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisâ': 59)

Contoh Al-hadits
إِنَّمَا لاَعْمَالُ بِاالنِّيَاتِ
Artinya: "Segala sesuatu beasal dari niat (Bukhori - muslim).

      1. Fatwa sahabat nabi SAW
Ketika didalam nash tidak diketemukan maka ia menggunakan fatwa sahabat, dan apabila fatwa sahabat ada yang menyalahi dan ada perselisihan diantara mereka maka yang ia ambil yaitu yang dipandang lebih dekat kepada nash, baik al-quran maupun al-hadist. Begitulah imam hambali dalam menyelesaikan permasalah ketika sudah tidak ditemui dalam al-quran dan al-hadistmaka perkataan sahabatlah yang akan menjadi hujjah dengan ketentuan yang ada di atas.

Contoh : Abu Bakar berpendapat dalam hal peperangan “ Jika orang kafir sudah bersembunyi karena takut, maka kita tidak boleh membunuhnya ”

      1. Al-hadist Mursal dan Al-hadist Dho’if
Jika dari ketiganya tidak diketemukan maka, beliau menetapkanya dari dasar al-hadist mursal dan al-hadist dhoif, sebab yang dimaksud dengan al hadits dhoif menurut ibn hambal adalah karena al-hadist ini terbagi menjadi dua, yaitu shohih dan dhoif. Hadits dhoif didahulukan daripada qiyas, karena ia mengganggap dho’if bukan berarti batil dalam ilmu mustalahat al-hadist , menurut ibn qoyyim prinsip ini bukan hanya prinsip imam ahmad ibn hambal saja, akan tetapi abu hanifah, imam hambali dan as-syafi’I juga berprinsip demikian.
Contoh Mursal :
أَنّ َرَسُوْلَ اللهِ ص.م: نَهَىعَنْبَيْعِالْمُزَابَنَةِ(روهمسلم)
Artinya : Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara muzabanah (HR. Muslim).

Contoh hadits Dhoif :
مَنْ أَتَى حَائِضًا اَوْاِمْرَاةً فِى دُبُرِهاَ اَوْ كاَهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Artinya : barang siapa melakukan hubungan intim dengan istrinya yang dalam keadaan haid atau melalui jalan belakang atau mendatangi peramal, maka ia telah kufur dengan apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad.

      1. Qiyas
Apabila imam ibn hambal tidak menemukan dasar hukum dari ke empat dasar istinbath yaitu al-quran, al-hadist, fatwa sahabat, hadits mursal dan dho’if, baru ia akan menggunakan al-qiyas atas dasar darurat,4 ia berkata :

سَاَءلْتُ الشَّافِعِي عِنْ الْقِيَاسِ فَقَالَ :اِنَّمَايُصَارُاِلَيْهِعِنْدَالضَّرُوْرَةِ
Artinya : “aku bertanya kepada ash-syafi’I tentang qiyas, maka dia berkata hanya saja diambil qiyas itu ketika darurat”

Contoh : Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.
Kemudian terkecuali dalam bidang sosial politik, maslalah al-mursalah tetap ia pakai seperti contoh dalam kasus :
  1. menetapkan hukum ta’zir bagi mereka yang selalu bernbuat kerusakan.
  2. menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap mereka yang meminum minuman keras di siang hari pada bulan ramadlan.

Dan cara-cara seperti itu , sering diikuti oleh para pegikutnya. Begitu pula dengan dasar ihtisan, istishab, sadd al-zara’i, sekalipun sangat jarang digunakan oleh imam ahmad ibn hambal.

Adapun hal-hal yang berkaitan dengan “halal” dan “haram”, beliau sangat teliti dalam mengkaji beberapa hadits dan sanadnya yang terkait denganya, tetapi beliau sangat longgar dalam menerima hadist yang berkaitan dengan masalah akhlaq, fadlail al-amal atau adat istiadat yang teruji, dengan persaratan sebagai berikut :

“Jika kami telah menerima hadist rosulullah yang menjelaskan masalah halal dan haram atau perbuatan sunnah dan hukum-hukumnya maka aku melakkan penelitian al-hadist secara ketat dan cermat begitu juga sanad-sanadnya, tetapi jika berkaitan dengn fadla’il al-a’mal atau yang tidak berhubungan dengan hukum, kami sedikit agak longgar”
Sebagai seorang ulama’ besar gudang ilmu, tentu saja ia banyak sekali dihadapkan kepada berbagai pertanyaan, ia akan menjawabnya dengan sangat hati-hati sekali, tidak pernah terburu-buru. Dan secara terus terang, ia mengakui “belum tahu” kalau memang masalah itu belum diketahuinya, atau belum diselidikinya. Karena itu ia selalu berpesan kapada murid-muridnya agar selalu berhati-hati dalam berfatwa yang belum jelas dasar hukumnya.
Imam Hanbali bukan seorang yang fanatik akan pendapat yang sampai padanya. Sehinga beliau sering melarang penulis fiqih yang diajarkannya, karena seringnya berubah pandangan. Beliau khawatir bila fiqih dibukukan, maka hukum-hukum syariat akan beku dan taklid akan merajalela sepanjang masa. Sedang fiqih seyogyanya selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman.
BAB III
PENUTUP

3.1. Keimpulan

Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwaanya imam Ahmad ibn Hambal merupakn imam yang dilahirkan dari bapak dan ibu yang notabenya sama-sama dari bani sayban, dan imam yang satu ini memang sangat teliti dan berhati-hati sekali dalam menyikapi semua permasalahan yang baru yang pada dasarnya belum ada dasar hukumnya yang pasti, apalagi dalam penerimaan hadist nabi tidak serta merta semua hadist diterimanya, akan tetapi ia akan lebih teliti dan cermat dalam meneliti hadis tersebut yang ia terima baik dari sanad, perowi dan sejarah kehidupanya, dan adapun cara istinbathnya menggunakan lima dasar yaitu :
  1. Al-Qur’an
  2. Al-Hadits
  3. Fatwa Sahabat
  4. Hadits Mursal dan Dhoif
  5. Qiyas
Dan adapun yan lain beliau tetap menggunakan akan tetapi dalam permasalahan tertentu saja. Dan bisa kami simpulkan juga semua hadis diterimanya secara longgar walaupun ia kadang tidak menggunakan.

DAFTAR PUSTAKA


Jaya, Tamar. 1986. Hayat dan Perjuangan Empat Imam Madzab. CV. Ramadhani : Solo.
Hasbi, Teungku Muhammad Ash Shiddieqy. 1997. Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab. PT. pustaka Rizki Putra : Semarang
Http://Mazdhab hambali istinbat/jurnal/item/metodologi_fiqh Imam Hambali
Zain, Ma’shum. 2008. Arus Pemikiran Empat Madzab. Darul Hikmah : Jawa Timur.
Zainy, Ma’shum.2008. Nadhom Baiquniyyah, Pengantar.Darul Hikmah : Jombang

1 Thabaqat al-Syafi’iyyah, Al-Subki, vol. II, hal. 145-146.

2 Al-Qur’an Surat Al-hasyr :7).

3 Imam Munawir, Mengenal pribadi 30 pendekar dan pemikiran Islam Dari masa Ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hlm. 295-296.

4 Abdullah Mustofa al-Maraghi, Op.Cit, hlm. 108.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar