RESUME
ASWAJA
LATAR
BELAKANG PENGAKTUALAN KEMBALI AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH
DISUSUN OLEH : Kelompok II
AGUS MAKMUN ROSID NPM :
10210266
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO - LAMPUNG
TAHUN
2011
Kata
Pengantar
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah
serta inayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok
pada mata kuliah Aswaja.
Banyak terimakasih kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat gandakan amal
baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu yang berguna
bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala
kekurangan yang ada pada kami dalam pembuatan makalah ini, kritik dan
saran yang membangun yang bisa menjadi kami lebih baik sangat kami
nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga
Allah SWTsenantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.
Metro,
24 Juli 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Tujuan Penulisan 1
C. Batasan Pembahasan 1
BAB II Latar Belakang
Pengaktualan Kembali Aswaja 2
A. Latar Belakang Lahirnya
Aswaja 2
B. Ruang Lingkup Aswaja 5
BAB III Penutup 9
A. Kesimpulan 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar belakang makalah
Ahlussunah
wal jama’ah adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh
nabi Muhammad saw. Dan para sahabatnya. Sudah menjadi kewajiban kita
sebagai umat islam yang berakidahkan ahlussunah wal jama’ah untuk
menjaga kemurnian dan melestarikan amalan amalan aswaja, baik
dibidang aqidah, syariah, mu’amalah, ekonomi, budaya serta dakwah
dan sebagainya.
Untuk lebih
lanjut penulis ingin mengetahui sejauh mana pemahaman penulis tentang
aswaja.maka berikiut penulis uraikan tentang aswaja.
- Tujuan penulisan
Selain
bertujuan untuk mendalami pemahaman tentang aswaja, penulisan makalah
ini juga bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
dosen matakuliah aswaja di stai ma’arif metro lampung tahun 2011.
- Batasan pembahasan
Dalam
penulisan makalah ini penulis memberikan batasan masalah sebagai
berikut.
- Aswaja
- latar belakang lahirnya aswaja
- ruang lingkup aswaja
BAB II
LATAR
BELAKANG PENGAKTUALAN KEMBALI
AHLUSSUNAH
WAL JAMA’AH
- Latar belakang lahirnya ahlussunah wal jama’ah
Dari segi
bahasa, ahlussunah berarti penganut nabi, sedangkan ahlul
jamaahberarti penganut kepercayaan jamaah para sahabat nabi. Karena
itu kaum “ahlussunah wal jama’ah” adalah kaum yang menganut
kepercayaan yang dianut oleh nabi Muhammad saw. Dan para sahabatnya.
Kepercayaan nabi dan sahabat sahabatnya itu telah termakjub dalam
al-qur’an dan assunah nabi secara terpencar pencar. Yang kemudian
dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh ulama’ besar, yaitu
syeikh abu al-hasan al-asy’ari ( lahir di basyrah tahun 260 H dan
wafat dikota di Bagdad seperti yang dikatakan Ibnu ‘Asakir (w. 571
H.)1.
Menurut Dr.
jalal Muhammad musa dalam karyanya nasy’ah al-asy’ariyah wa
tathawwuriha, istilah ahlussunah wal jama’ah mengandung dua
konotasi ‘amm ( umum/global) dan khashsh (khusus/pesifik). Dalam
makna ‘amm, ahlussunah wal jamaah adalah pembanding syi’ah,
termasuk mu’tazilah dan kelompok lainnya. Sedangkan makna khashsh
adalah kelompoknya asy’ariyah ( pengikut madzhab imam abu al-hasan
al-asy’ari ) dalam pemikiran kalam.
Dr. ahmad
Abdullah at-thayyar dan dr. Mubarak hasan husayn dari universitas al
azhar mengatakan bahwa ahlussunah wal jama’ah adalah orang orang
yang mendapat petunjuk allah swt, dan mengikuti sunah rosul, serta
mengamalkan ajaran yang terdapat di dalam al-qur’an dan sunah
secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj ( jalan pikiran )
dan tingkah laku dalam kehidupan sehari hari.
Artinya :
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. 2
Dengan arti
seperti diatas, apa yang masuk dalam kelompok halussunah waj jama’ah,
pertama tama adalah para sahabat nabi, para tabi’in dan
tabi’it-tabi’in, serta semua orang yang mengikuti jalan nabi
Muhammad saw. Sampai hari kiamat kelak.
Al-ustadz abu
al-faidl ibn as-syeikh abd al syakur al-sanori dalam karyanya kitab
al-kawakib al-lamma’ah fi tahqiq al musamma bi ahli assunah wal
jama’ah menyebut ahlussunah wal jamaah menyebut kelompok atau
golongan yang senantiasa setia mengikuti sunah nabi Muhammad saw. Dan
petunjuk para sahabatnyadalam aqidah. Amaliah fisik (fiqh) dan ahlaq
batin (tasawwuf). Kelompok itu meliputi ulama’ kalam
(mutsksllimun), ahli fiqih (fuqoha’) dan ahli hadits (muhadisin)
serta ulama’ tasawwuf ( shufiyyah).
Jadi
ahlussunah wal jamaah menurut ‘urf khashsh (adat kebiasaan) adalah
kelompok muhaddisin, syufiyah, asy’ariyah, dan maturidiyah.
Pengikut mereka inilah yang kemudian juga dapat disebut ahlussunah
wal jamaah, dan selainnya tidak, dalam konteks ‘urf khashsh tadi.
Adapun menurut pengertian ‘amm ahlussunah wal jamaah adalah
kelompok atau golongan yang senantiasa setia melaksanakan sunah nabi.
Dan petunjuk para sahabatnya. Dengan kata lain, substabsi ahlussunah
wal jamaah adalah mereka yang memurnikan sunnah, sedangkan lawannya
adalah ahli bid’ah (ahli al-bid’ah).
Ahmad amin
dalam zuhr al-islam, juga menjelaskan bahwa sunah dalam istilah ahl
al sunah berarti hadits. Oleh karena itu, berbeda dengan kaum
mu’tazilah, ahlussunah percaya terhadap hadits hadits shahihtanpa
harus memilih dan umumnya/ mayoritas umat islam (‘ammah al
muslimin) serta jamaah besar dan khalayak ramai (al jama’ah
al-katsir wa al-sawad al-a’zham) secara lebih terperinci,
al-baghdadi menegaskan bahwa ahlussunah wal jamaah terdiri dari 8
kelompok besar, yaitu : mutakallimin, fuqaha’, ahli hadits, ahli
bahasa, ahli qira’at, sufi atau zahid, mujahid dan masyarakat awam
yang berdiri dibawah panji panji ahlussunah wal jamaah.
Dua definisi
ini menggambarkan adanya definisi yang bersifat terminologis
(ishthilahy) dan definisi yang bersifat stubstanitif. Ini artinya
dalam istilah ahlussunah wal jamaah ada aspek jawhar atau hakikat
atau aspek ‘ardl atau formal. Dalam dua aspek ini, apa yang
mendasar adalah aspek jawharnya, sedangkan aspek ardl nya dapat
mengalami revitalisasi dan pembaharuan, karena terkait dengan faktor
historis.
Sepertidiketahui,
istilah ahlussunah wal jamaah muncul berkaitan dengan munculnya
madzhab madzhab, sehingga ketika hasil pemikiran madzhab yang
bersifat relatif, atau tidak absolute itu mengalami revitalisasi,
maka pengertian ahlussunah wal jamaah pun harus dikembalikan kepada
arti substansinya.
Paham yang
membendung paham syi’ah (dalam konteks historis juga paham aqidah
mu’tazilah) yang dinilai sebagai kelompok bid’ah, yakni kelompok
yang melakukan penyimpangan dalam agama karena lebih mengutamakan
akal daripada naql (al-qur’an) dalam merumuskan paham keagamaan
islamnya.
Dengan
demikian, pengertian ahlussunah wal jamaah secara substantif adalah
kelompok yang setia terhadap sunnah, dengan menggunakan manhaj
berfikir mendahulukan nashsh daripada akal. Sebagai gerakan, sebelum
diinstitusikan dalam bentuk madzhab, kelompok ini melakukan pembaruan
seperti adalah pengikut imam al-asy’ari (al-asy’ariyah).
Tersebut pula
dalam kitab “ihtihaf sadatul muttaqin” karangan imam Muhammad bin
Muhammad az-zabidi, yaitu syarah dari kitab “ihya’ ulumuddin”
karangan imam al-ghazali pada jilid II pagina 6 yaitu :
Artinya :
apabila disebut kaum ahlussunah wal jama’ah, maka artinya ialah
orang orang yang mengikuti rumusan (faham) asy’ariyah dan faham abu
mansyur al-maturdi”.
Dari beberapa
penjelasan diatasdapat ditarik kesimpulan latar belakang pengaktualan
kembali ahlussunah wal jamaah sejak munculnya faham ahlussunah wal
jamaah yang dibawa dan dipopulerkan oleh syaih abu hasan al asy’ari
dan syaih abu mansyur al maturdi sejak abad III H.
- Ruang lingkup aswaja
Karena secara
substansi paham Aswaja adalah lslam itu sendiri, maka ruang lingkup
Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek Akidah,
Fiqih dan Akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja bahwa
aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek
Akidah. Aspek ini krusial kareba pada dasarnya Mu'tazilah dijadikan
paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah,
terjadilah kasus fitnah yang cukup menimbulkan keresahan umat Islam.
Ketika Imam
Al-Asyari tampil berkhotbah menamampaikan pemikiran-pemikiran teologi
Islamnya sebagi koreksi, atas demikiran teologi Mutazilah dalam
beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, akan dengan
serta merta masyarakat dalam menyambut dengan positif, dan akhirnya
banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan
kelompok Asy'ariyah dan terinstruksikan dalam bentuk madzhab Asy’ari.
Dalam
perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi
bagian dan disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya
adalah Asy'ariyah atau Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab empat
dan dalam tasawuf adalah al-Ghozali dan ulama-ulama yang sepaham.
Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang Iingkup
yang kedua adalah syari'ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang
berhubungan dengan ibadah dan mu'amalah. Sama pentingnya dengan ruang
lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang
lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena
Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi
juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman
yang memerlukan komunikasi dengan Allah SWT, dan sebagai makhluk
sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia
secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Dalam konteks
historis, ruang Iingku yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama
bersumber dan empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali. Secara substantif, ruang Iingkup yang kedua ini sebenarnya
tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dan empat madzhab
diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya
yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui Al-Quran, Hadits, Jima
dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam
lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama
Taqdimul al-Nash 'ala al-'Aql (mengedepankan Nash dari pada akal
piiran).
Ruang lingkup
ketiga dan Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang Iingkup
yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh
Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd al-Baghdadi, serta
ulama ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkupyang ketiga ini dalam
dalam diskusi islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan
dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan ssedangkan Islam
menggambarkans yariah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan
Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia
sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya,
karena sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. Mi yang
sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan
tetapi tidak menjalankan syari'at, ibarat akar tanpa pohon, artinya
tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak
menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang
Iingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang ke empat sehingga
keberadaannya sama.
Dengan
demikian keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang keduq dalam
membentuk insane kamil. Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara
prinsipil diantara kelompok dan madzhab dalam Islam. Pertama dalam
hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Quran dan
AS-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.
Kedua, para
ulama dan masing-masingk elompok tidak ada yang berbeda pendapat
mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah SWT,
kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi mereka berbeda dalam
beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda didalam
manhaj bepikirnya terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan teks-teks sunnah.
3. Bidang
Istinbath Al-Hukm (Pengambilan Hukum Syari'ah)
Hampir
seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
a) AI-Qur'an
b) As-Sunnah
c) Ijma'
d) Qiyas
AI-Qur'an
sebagais sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath alhukum)
tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli
posisinya tidak diragukan. A l-Qur'an merupakan sumber hukum
tertinggi dalam Islam. Sementara As –Sunnah meliputi Al-Hadist dan
segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh
para Shabat dan Tabi'in. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal
(masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As Sunnah
tersebut dilakukan oleh Ijma' Shahabat. Menurut Abu Hasan AU Ibn Ali
Ibn Muhammad Al-Amidi, Uma' adalah Kesepakatan kelompok legislatif
(ahi al-haiti wa ai-aqdz) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap
suatu hukum dan suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukalaf
dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
kasus. Dalam AI-Qur'an dasar ljma' terdapat dalam QS An-Nisa',4: ll5.
Menurut Syekh
Abu at-Fadl ibn Syekh 'Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya
"Al- Kawakib al-Lamma'ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-
Sunnah wa al-Jama'ah" (kitab ini telab disahkan oleh Muktamar NU
ke XXIII di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal
jama'ah sebagi kelompok atau golongany ang senantiasak omitmen
mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal
akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh
'Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunah Wal Jama’ah
sebagai berikut : "Yang dimaksud dengan A-Sunnah adalah apa yang
telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, prilaku, serta
ketetapan beliau).
Sedangkan
yang dimaksud dengan pengertian fama'ah adalah segala sesuatu yang
yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur
Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah."
BAB II
PENUTUP
- KESIMPULAN
Dari
pembahasanm Makalah di atas maka penulis dapat menyimpulkan:
- Menurut para ahli sejarah, firqoh-firqoh dalam Islam timbul pada akhir pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan. Ketika itu, tampil Abdullah Ibnu Saba' s eorang pendeta Yahudi asal Yaman yang mengaku Islam.
- Ahlussunnah wal jama'ah muncul pada abad ke tiga Hijriah. Yang dianggap berjasa mempopulerkan kembali adalahI mam Abu HasanA l-Asy'ari dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi, Imam Hasan lahir di Basrah (Iraq) pada tahun 260H/873M dan wafat pada tahun 571H/935M.
- Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial karenap ada saat M u'tazilah dijadikan paham keagamaan resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus fihnah yang cukup menimbulkan keresahan umat Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Suyoto,1998,PendidikanA
swaiadon Ke-NU-anJ ilid 2, Lampung Tengah: PCLP. Ma'arifNu.
Amirudin,
dkk. 2009., Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an, Lampung : DW Lembaga
Pendidikan M a'arif NU Lampung.
RESUME
ASWAJA
PENGERTIAN
AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH
DISUSUN OLEH : Kelompok I
AGUS MAKMUN ROSID NPM :
10210266
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO - LAMPUNG
TAHUN
2011
Kata
Pengantar
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah
serta inayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok
pada mata kuliah Aswaja.
Banyak terimakasih kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat gandakan amal
baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu yang berguna
bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala
kekurangan yang ada pada kami dalam pembuatan makalah ini, kritik dan
saran yang membangun yang bisa menjadi kami lebih baik sangat kami
nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga
Allah SWTsenantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.
Metro,
24 Juli 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Tujuan Penulisan 1
C. Batasan Pembahasan 1
BAB II Latar Belakang
Pengaktualan Kembali Aswaja 2
A. Latar Belakang Lahirnya
Aswaja 2
B. Ruang Lingkup Aswaja 5
BAB III Penutup 9
A. Kesimpulan 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar belakang makalah
Menurut
terminologi para Muhadditsin, Sunnah adalah segala napak tilas
Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat
kejadian nya (bentuk tubuhnya), akhlaknya maupun sejarah nya, baik
sebelum kenabian maupun sesudahnya. Kedua, Para ulama Ushul Fiqh
mendefinisikan Sunnah sebagai “segala sesuatu yang dinukil dari
Rasulullah, baik perkataan, perbuatan maupun taqrir”. Ketiga,
menurut ulama Fiqh Sunnah sebagai suatu perbuatan yang apabila
dilaksanakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat
dosa, kebalikan dari fardlu atau wajib menurut mereka. Keempat,
Sunnah juga diidentikkan terhadap segala yang ditunjuk oleh
dalil-dalil Syar’i, baik Alqur’an, Hadits ataupun Ijtihad Sahabat
Untuk lebih
lanjut penulis ingin mengetahui sejauh mana pemahaman penulis tentang
aswaja.maka berikiut penulis uraikan tentang aswaja.
- Tujuan penulisan
Selain
bertujuan untuk mendalami pemahaman tentang aswaja, penulisan makalah
ini juga bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
dosen matakuliah aswaja di stai ma’arif metro lampung tahun 2011.
- Batasan pembahasan
Dalam
penulisan makalah ini penulis memberikan batasan masalah sebagai
berikut.
- Aswaja
- Pengertian Aswaja
BAB
II
Pengertian
Aswaja
Secara etimologi, “As-Sunnah” berarti “cara”
atau “jalan”, baik cara atau jalan itu benar atau salah, terpuji
atau tercela.9 Hadits Rasulullah dalam pengerti-an ini, adalah:
“Barangsiapa yang me-rintis sebuah jalan kebaikan kemudian diikuti
oleh orang-orang sesudah nya, maka ia akan mendapat pahala seperti
pahala orang-orang pengikut nya tanpa dikurangi sedikit pun dari
pahala para pengikut tersebut. Begitu pula sebaliknya, orang yang
merintis jalan kesesatan kemudian diikuti oleh orang-orang
sesudahnya, maka ia akan mendapat dosa seperti dosa-dosa para
pengikutnya tanpa dikurangi sedikit pun beban dosa para pengikut
tersebut”.
Adapun pengertian hadits secara terminologi
mempunyai beberapa pe-ngertian antara lain: pertama, Menurut
terminologi para Muhadditsin, Sunnah adalah segala napak tilas
Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat
kejadian nya (bentuk tubuhnya), akhlaknya maupun sejarah nya, baik
sebelum kenabian maupun sesudahnya. Kedua, Para ulama Ushul Fiqh
mendefinisikan Sunnah sebagai “segala sesuatu yang dinukil dari
Rasulullah, baik perkataan, perbuatan maupun taqrir”. Ketiga,
menurut ulama Fiqh Sunnah sebagai suatu perbuatan yang apabila
dilaksanakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat
dosa, kebalikan dari fardlu atau wajib menurut mereka. Keempat,
Sunnah juga diidentikkan terhadap segala yang ditunjuk oleh
dalil-dalil Syar’i, baik Alqur’an, Hadits ataupun Ijtihad
Sahabat, seperti pengumpulan mushaf dan pembukuan atau
pengkodifikasian Hadits, temasuk di dalamnya Ijtihad sahabat sebagai
Sunnah berdasar pada hadits Rasulullah SAW. berbunyi: “ ’Alaikum
bi assunnatî wa sunnati al khulafâi ar râsyidîna al mahdiyyîn“.
Kelima, Sunnah juga diidentikkan terhadap hal-hal yang berlawanan
dengan Bid’ah.
Ahlusunnah wal jama’ah adalah salah satu jalan
pendekatan diri kepada Allah SWT yang perpegang kepada 4(empat)
1.Al-Qur’an
2.Hadits
3.Ijma’
4. Qiyas
2.Hadits
3.Ijma’
4. Qiyas
Arti Ahlussunnah wal jama’ah itu sendiri diambil
dari Hadits Rasulullah SAW yang beliau sabdakan
“Islam akan menjadi terbagi menjadi 73 golongan,
satu golongan yang masuk surga tanpa di hisab”, sahabat berkata :
siapakah golongan tersebut ya Rasulullah ?, Nabi bersabda “
Ahlussunnah wal jama’ah“.
Yang kita tanyakan, apa itu Ahlussunnah wal
jama’ah ?
Semua golongan mengaku dirinya Ahlussunnah tetapi
sebenarnya mereka bukan Ahlussunnah wal jama’ah karena banyak
hal-hal yang mereka langgar yang mereka jalankan di dalam ajaran
agama Islam, tetapi tetap mereka mengakui diri mereka yang benar.
Sebenarnya kita harus mengetahui apa yang kita pelajari di dalam
agama Islam atau yang kita amalkan di dalam Islam maka kita akan
mengetahui kebenarannya di dalam ajaran Ahlussunnah wal jama’ah.
Allah SWT telah mengucapkan di dalam surat Al Fatihah pada ayat yang
5 dan ayat yang ke 6, Allah SWT mengucapkan di dalam ayat yang ke 5
jalan yang lurus dan pada ayat yang ke 6 jalan-jalan mereka, yang
kita tanyakan siapa mereka-mereka itu ?
Ulama Ahlussunnah wal jama’ah mereka bersepakat:
- Mereka adalah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya
- Penerus sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang dinamakan Tabi’in
- Tabi’-tabi’in adalah pengikut yang mengikuti orang yang belajar kepada
sahabatRasulullahSAW. - Danparaulamasholihin.
Demikianlah beberapa defenisi tentang “Sunnah” dari berbagai pakar. Maka ketika kita membicarakan aqidah Ahlus sunnah, maka tak pelak lagi, bahwa yang dimaksudkan adalah aqidah yang telah dicontohkan (diajarkan) oleh Rasulullah dan para Sahabatnya. Dan selanjutnya, orang yang berpegang teguh dan konsisten terhadap aqidah tersebut dinamakan “Ahlussunnah”. Dan hanya aqidah seperti inilah yang disepakati keabsahannya oleh mayoritas ummat Islam, sehingga kata “Ahlussunnah” dilengkapi dengan kata “wal jama’ah” sesudahnya, menjadilah “Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah”. Dan hanya aliran inilah satu-satunya yang dijamin oleh Rasulullah selamat dari api neraka. Ketika hadits tentang “perpecahan ummat” dibaca oleh semua aliran dan sekte-sektenya dalam Islam, ketika itu, tampillah masing-masing dari mereka mengklaim dirinya sebagi “golongan selamat”. Ibnu al-Muthahhar dalam mengutip statemen gurunya, Nashir al-din Al-Thsusy, tokoh aliran Syi’ah Imamiyah, ketika ditanya tentang “golongan yang selamat” seperti yang tertuang dalam hadits Nabi: ” Sataftariqu ummatî ‘alâ tsalâtsi wasab’îna firqatan wâhidatun minhâ nâjiyah wal bâqi fi annâr“ ketika itu al-Thusy menjawab dengan mengutip salah satu hadits yang menurutnya shahih, berbunyi: “mitslu ahli baitî kamitsli safînatin nuh man rakabahâ najâ wa man takhallafa gharaqa“ Hadits tersebut, menurut Thusy, memberi indikasi bahwa satu-satunya aliran yang selamat adalah aliran Syi’ah Imamiah.
Ibnu Taimiah, salah seorang tokoh Salaf abad VII
H. dengan tegas meng-counter sinyalemen Thusy di atas dalam buku- nya
Minhaj al- Sunnah. Ibnu Taimiah --dalam mematahkan argumen Thusy
--meninjaunya dari delapan aspek, dan pada point kelima, Ibnu Taimiah
menjelaskan bahwasanya hadits Rasulullah SAW. menyangkut “aliran
yang selamat” hanya berbunyi: “ man
kâna ‘ala mitslî ma anâ ‘alaihi al yauma wa ashhâbî “ dan
dalam riwayat lain berbunyi: “ Hum al
jamâ’ah“. Menurut Ibnu Taimiah,
justru hadits ini sendiri yang menolak eksistensi Syi’ah Imamiah
sebagai aliran yang selamat. Sebab mereka dengan terang keluar dari
jalur yang menjadi kesepakatan kaum Muslimin, seperti: menganggap
kafir atau fasik Abu Bakar dan Umar, demikian halnya kepada tokoh
ulama dan ahli ‘Ubbad mayoritas ummat lainnya. Adapun hadits yang
disebutkan Thusy sebagai hadits shahih di atas masih perlu ditinjau
keabsahannya sebab Imam Az-Dzahaby dan al-Albany sendiri
menganggapnya sebagai hadits dhaif. Tapi yang masyhur adalah kalimat
itu dari Imam Malik dengan konteks: “ As
sunnatu mitslu safînatin nuh man rakabahâ najâ wa man takhalafa
‘anhâ halaka“.
Ibnu Taimiah dalam menjelaskan maksud perkataan
ini beliau mengatakan: “Konteks ini benar, sebab orang-orang yang
menumpang pada perahu Nabi Nuh a.s. hanyalah yang membenarkan
kerasulan dan mengikutinya, sedangkan orang yang enggan menaiki
perahu tersebut adalah orang-orang yang mendustakan kerasulan, maka
mengikuti Sunnah berarti mengikuti kerasulan dengan segala
konsekwensinya seperti halnya para penumpang perahu Nuh tersebut
demikian pula sebaliknya”.
Selanjutnya, aliran Mu’tazilah tak ketinggalan
mengklaim dirinya sebagai “Ahlul Haq” dan selanjutnya sebagai
“Al-Firqah an-Najiah” (golongan selamat). Salah seorang tokoh
terkemuka Mu’tazilah ‘Amr bin ‘Ubaid berkata kepada Khalifah
al- Manshur: “ Adzharu al haq
yattabi’uka ahluh” yang dia
maksudkan “ahlu al haq” di
sini adalah aliran Mu’tazilah dengan mengambil landasan dari sebuah
riwayat Sufyan al-Tsaury dari Ibnu Zubair dari Jabir bin Abdullah
dari Nabi SAW. berkata: “Sataftariqu
ummatî ‘ala bidh’i wa sab’îna firqatan abirruhâ wa atqâha
al fiah al mu’tazilah“
Demikianlah
upaya kaum Mu’tazilah untuk membenarkan pendapatnya, sadar atau
tidak, mereka melakukan dua hal yang kontradiksi dalam diri mereka
sendiri, yaitu: mereka dengan tegas menetapkan tidak bolehnya
berhujjah dengan hadits Ahad terhadap masalah-masalah i’tiqad,
sementara hadits yang disebutkan di atas sama sekali tidak ditemukan
di tempat yang lain. Setidaknya hadits tersebut --kalau memang
benar-- diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, atau paling tidak
disebutkan dalam kitab-kitab Sunan yang lain. Itu sebabnya, Dr.
Muhammad Bakray mengatakan bahwa; “Kaum Mu’tazilah dalam
ambisiusnya untuk membenarkan pendapat-pendapatnya, akhirnya
hadits-hadits nabi diobral sesuai dengan keinginan hawa nafsunya,
walaupun hadits tersebut disepakati oleh Bukhari-Muslim. Demikianlah
kondisi objektif aliran-aliran dalam Islam, tidak satupun dari mereka
ingin ketinggalan, kecuali tampil mengibarkan panji fanatismenya
sebagai pemilik otoritas kebenaran. Sebagai konsekwensi logis dari
fanatisme tersebut, nash-nash religius --Alqur’an dan Hadits--
diselewengkan demi mempertahankan pendapatnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian
diatas, maka penulis simpulkan bahwa, pengertian ahlussunah wal
jamaah menurut etimologi adalah berarti “cara” atau “jalan”,
baik cara atau jalan itu benar atau salah, terpuji atau tercela
sedangkan menurut terminology adalah
DAFTAR
PUSTAKA
Ibnu
Jarir alThabary, Tahdzibul Atsar, (Makkah: Al-Shafa, th. 1402 H.),
vol. II, hal. 182.
Abu
Ubaid Al-Qasim bin Salam, al-Imam, (Dimsyaq: Al-Ummah), hal. 53.
Al-Imam
Ahmad bin Hambal, Al-Sunnah dalam kitab (bab): Ar-Ra’d ‘ala
al-Jahamiah, Kairo: Isa al-Halaby), hal. 33-34.
Prof
Musthafa al-Syuk’ah, Islam Bila Madzahib, (Kairo: Musthafa
al-Halaby), hal. 496
Keterangan
selengkapnya, lihat: Ahmad Amin, Dhuhrul Islam, (Kairo: Dar al-Kitab
al-’Araby), vol. IV, hal. 96.
Ibnu
Mandzur, Lisan al-’Arab, (Beirut: Dar Shadir) vol. XIII, hal. 225.
Hadits
riwayat Muslim, Kitab az-Zakah, No. hadits 1017.
RESUME
ASWAJA
IMAM IBNU
HAMBAL DALAM BERISTIMBAT HUKUM
DISUSUN OLEH :
AGUS MAKMUN ROSID NPM :
10210266
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO - LAMPUNG
TAHUN
2011
Kata
Pengantar
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah
serta inayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok
pada mata kuliah Aswaja.
Banyak terimakasih kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat gandakan amal
baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu yang berguna
bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala
kekurangan yang ada pada kami dalam pembuatan makalah ini, kritik dan
saran yang membangun yang bisa menjadi kami lebih baik sangat kami
nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga
Allah SWTsenantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.
Metro,
24 Juli 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Tujuan Penulisan 1
C. Batasan Pembahasan 1
BAB II Latar Belakang
Pengaktualan Kembali Aswaja 2
A. Latar Belakang Lahirnya
Aswaja 2
B. Ruang Lingkup Aswaja 5
BAB III Penutup 9
A. Kesimpulan 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Islam
merupakan salah satu agama samawi yang diturunkan kepada manusia yang
penurunanaya melalui wahyu, sehingga wajar saja ketika memiki
keistimewaan- keistimewaan dibandingkan dengan agama yang lain,
khususnya dalam ke kekomlitan hukum yang ada dalamnya.
Hukum-hukum
yang ada dalam agama islam pada dasanya terdiri dari dua tingkatan
yaitu syariah dan fiqh, beda halnya dalam syariah tidak perlu adanya
ijthad para mujtahid karena sebab dasarnya yaitu dalil-dalil muhkam,
sedangkan fiqh kita tahu banyak sekali permasalahan yang baru dan
belum jelas dan pasti tentang kedudukan hukum tersebut sehingga, para
mujtahidpun mengerahkan tenaga dan pikiranya untuk memperjelas suatu
hukum tersebut, akan tetapi dalam berijtihad para imam sangat mungkin
untuk berbeda karena dasar dan cara istinbathnya yang berbeda.
Contohnya istinbathnya imam Hambali yang akan dipaparkan berikut ini.
- Tujuan Penulisan
Selain
bertujuan untuk mendalami pemahaman tentang aswaja, penulisan makalah
ini juga bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
dosen matakuliah aswaja di stai ma’arif metro lampung tahun 2011.
- Batasan Pembahasan
Dalam
penulisan makalah ini penulis memberikan batasan masalah sebagai
berikut.
- Pola Imam Ibnu Hambal Dalam Beristimbat Hukum
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.Pola
Imam Ibnu Hambal Dalam Beristimbat Hukum
Nama
lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhamad Ibn Hambal Ibn Asad Ibn Idris Ibn
Abdullah Ibn Hasan Al-Syaibaniy. Ia lahir di Bagdad tahun 164 H / 780
M dan wafat pada tahun 241 H / 855 M, ibunya bernama Syarifah
Maimunah Binti Abdul Hambali Ibn Sawadan Ibn Hindun Al-Syaibaniy,
baik dari ayah dan ibu sama-sama dari bani syaiban, yaitu salah satu
kabilah yang berdomisili di Semenanjung Arabia. Kebesaran Imam
Hambali sebenarnya adalah karena ia sangat menghormati dan mencintai
Nabi Muhammad SAW beserta Sunnahnya, dan karena Ia sangat mencintai
nabi hingga ia senantiasa mencari ahli-ahli hadits dimanapun di
dengarnya, untuk itu ia rela pergi dengan melakukan perjalanan yang
jauh demi untuk mencari kebenaran hadits-hadits itu. Karena itulah ia
sangat banyak sekali hadits-hadits yang ia hafal di luar kepala,
berikut rawi-rawinya. Dan semua hadits yang ia dapat selalu dicari
rawi dengan sejarah dan riwayat hidupnya.
Telah kita kenal bahwasanya
Ahmad bin Hambal dikenal luas sebagai pembela hadits Nabi yang gigih.
Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang digunakannya dalam
memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal, kecuali dalam
keadaan sangat terpaksa atau sangat perlu dan sebatas tidak
ditentukan hadits yang menjelaskannya.
Ibn Hanbal sangat
berhati-hati tentang riwayat hadits, karena hadits sebagai dasar
tidak akan didapatkan faedahnya tanpa memiliki riwayatnya. Dalam hal
ini beliau berkata-kata “Barangsiapa yang tidak mengumpulkan hadits
dengan riwayatnya serta pembedaan pendapat mengenainya, tidak boleh
memberikan penilaian tentang hadits tersebut dan berfatwa
berdasarkannya”. 3
Imam
Hambali terkenal dengan imam dalam bidang hadits Rasulullah SAW. Imam
hambali belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru
pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada
Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi
gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam
Hambali adalah imam negeri hijaz , bahkan tokohnya semua bidang fiqh
dan hadits. Dan apabila dalam menerima hadist dan sudah di teliti
oleh ia diketemukan baik dalam sejarah maupun rawinya kurang kuat
kebenaranya maka ia akan tidak menggunakan hadits tersebut.
Selanjutnya , fiqh Ahmad Ibn Hambal itu pada dasarnya lebih banyak di
dasarkan pada al-Hadits, dalam artian setelah al-quran. Dengan
melihat pemikiran imam Hambali seperti diatas, maka metode istinbath
yang dipakai imam Hambali adalah sebagai berikut :
- Al-Quran, dan Al-Hadits
Apabila
ia menemukan nash maka ia menggunakan nash tersebut, dan ia
menfatwakanya, ia mendahulukan nash atas fatwa sahabat. nash yang
dimaksud disisni adalah al-quran dan al-hadist, kedanya adalah sumber
fiqh islam. Seluruh para sahabat dalam berpendapat akan berbeda akan
tetapi dalam berpendapat tetap tidak keluar dari sumber pokok yaitu
al-quran dan al hadist shohih.
Contoh Al-quran
Artinya
: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika
kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih
baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisâ': 59)
Contoh
Al-hadits
إِنَّمَا
لاَعْمَالُ بِاالنِّيَاتِ
Artinya:
"Segala sesuatu beasal dari niat (Bukhori - muslim).
- Fatwa sahabat nabi SAW
Ketika
didalam nash tidak diketemukan maka ia menggunakan fatwa sahabat, dan
apabila fatwa sahabat ada yang menyalahi dan ada perselisihan
diantara mereka maka yang ia ambil yaitu yang dipandang lebih dekat
kepada nash, baik al-quran maupun al-hadist. Begitulah imam hambali
dalam menyelesaikan permasalah ketika sudah tidak ditemui dalam
al-quran dan al-hadistmaka perkataan sahabatlah yang akan menjadi
hujjah dengan ketentuan yang ada di atas.
Contoh : Abu Bakar berpendapat dalam hal peperangan “ Jika orang kafir sudah bersembunyi karena takut, maka kita tidak boleh membunuhnya ”
- Al-hadist Mursal dan Al-hadist Dho’if
Jika
dari ketiganya tidak diketemukan maka, beliau menetapkanya dari dasar
al-hadist mursal dan al-hadist dhoif, sebab yang dimaksud dengan al
hadits dhoif menurut ibn hambal adalah karena al-hadist ini terbagi
menjadi dua, yaitu shohih dan dhoif. Hadits dhoif didahulukan
daripada qiyas, karena ia mengganggap dho’if bukan berarti batil
dalam ilmu mustalahat al-hadist , menurut ibn qoyyim prinsip ini
bukan hanya prinsip imam ahmad ibn hambal saja, akan tetapi abu
hanifah, imam hambali dan as-syafi’I juga berprinsip demikian.
Contoh
Mursal :
أَنّ
َرَسُوْلَ اللهِ ص.م:
نَهَىعَنْبَيْعِالْمُزَابَنَةِ(روهمسلم)
Artinya
: Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara muzabanah (HR.
Muslim).
Contoh hadits Dhoif :
مَنْ
أَتَى حَائِضًا اَوْاِمْرَاةً فِى
دُبُرِهاَ اَوْ كاَهِنًا فَقَدْ كَفَرَ
بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Artinya
: barang siapa melakukan hubungan intim dengan istrinya yang dalam
keadaan haid atau melalui jalan belakang atau mendatangi peramal,
maka ia telah kufur dengan apa yang telah diturunkan kepada nabi
Muhammad.
- Qiyas
Apabila
imam ibn hambal tidak menemukan dasar hukum dari ke empat dasar
istinbath yaitu al-quran, al-hadist, fatwa sahabat, hadits mursal dan
dho’if, baru ia akan menggunakan al-qiyas atas dasar darurat,4
ia berkata :
سَاَءلْتُ الشَّافِعِي عِنْ الْقِيَاسِ فَقَالَ :اِنَّمَايُصَارُاِلَيْهِعِنْدَالضَّرُوْرَةِ
Artinya
: “aku bertanya kepada ash-syafi’I tentang qiyas, maka dia
berkata hanya saja diambil qiyas itu ketika darurat”
Contoh : Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.
Kemudian
terkecuali dalam bidang sosial politik, maslalah al-mursalah tetap ia
pakai seperti contoh dalam kasus :
- menetapkan hukum ta’zir bagi mereka yang selalu bernbuat kerusakan.
- menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap mereka yang meminum minuman keras di siang hari pada bulan ramadlan.
Dan cara-cara seperti itu , sering diikuti oleh para pegikutnya. Begitu pula dengan dasar ihtisan, istishab, sadd al-zara’i, sekalipun sangat jarang digunakan oleh imam ahmad ibn hambal.
Adapun
hal-hal yang berkaitan dengan “halal” dan “haram”, beliau
sangat teliti dalam mengkaji beberapa hadits dan sanadnya yang
terkait denganya, tetapi beliau sangat longgar dalam menerima hadist
yang berkaitan dengan masalah akhlaq, fadlail al-amal atau adat
istiadat yang teruji, dengan persaratan sebagai berikut :
“Jika kami telah menerima hadist rosulullah yang menjelaskan masalah halal dan haram atau perbuatan sunnah dan hukum-hukumnya maka aku melakkan penelitian al-hadist secara ketat dan cermat begitu juga sanad-sanadnya, tetapi jika berkaitan dengn fadla’il al-a’mal atau yang tidak berhubungan dengan hukum, kami sedikit agak longgar”
Sebagai
seorang ulama’ besar gudang ilmu, tentu saja ia banyak sekali
dihadapkan kepada berbagai pertanyaan, ia akan menjawabnya dengan
sangat hati-hati sekali, tidak pernah terburu-buru. Dan secara terus
terang, ia mengakui “belum tahu” kalau memang masalah itu belum
diketahuinya, atau belum diselidikinya. Karena itu ia selalu berpesan
kapada murid-muridnya agar selalu berhati-hati dalam berfatwa yang
belum jelas dasar hukumnya.
Imam
Hanbali bukan seorang yang fanatik akan pendapat yang sampai padanya.
Sehinga beliau sering melarang penulis fiqih yang diajarkannya,
karena seringnya berubah pandangan. Beliau khawatir bila fiqih
dibukukan, maka hukum-hukum syariat akan beku dan taklid akan
merajalela sepanjang masa. Sedang fiqih seyogyanya selalu mengalami
pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Keimpulan
Dari
uraian diatas dapat kami simpulkan bahwaanya imam Ahmad ibn Hambal
merupakn imam yang dilahirkan dari bapak dan ibu yang notabenya
sama-sama dari bani sayban, dan imam yang satu ini memang sangat
teliti dan berhati-hati sekali dalam menyikapi semua permasalahan
yang baru yang pada dasarnya belum ada dasar hukumnya yang pasti,
apalagi dalam penerimaan hadist nabi tidak serta merta semua hadist
diterimanya, akan tetapi ia akan lebih teliti dan cermat dalam
meneliti hadis tersebut yang ia terima baik dari sanad, perowi dan
sejarah kehidupanya, dan adapun cara istinbathnya menggunakan lima
dasar yaitu :
- Al-Qur’an
- Al-Hadits
- Fatwa Sahabat
- Hadits Mursal dan Dhoif
- Qiyas
Dan
adapun yan lain beliau tetap menggunakan akan tetapi dalam
permasalahan tertentu saja. Dan bisa kami simpulkan juga semua hadis
diterimanya secara longgar walaupun ia kadang tidak menggunakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Jaya,
Tamar. 1986. Hayat dan Perjuangan Empat Imam Madzab. CV. Ramadhani :
Solo.
Hasbi,
Teungku Muhammad Ash Shiddieqy. 1997. Pokok-Pokok Pegangan Imam
Madzhab. PT. pustaka Rizki Putra : Semarang
Http://Mazdhab
hambali istinbat/jurnal/item/metodologi_fiqh Imam Hambali
Zain, Ma’shum. 2008. Arus Pemikiran Empat Madzab. Darul Hikmah : Jawa Timur.
Zain, Ma’shum. 2008. Arus Pemikiran Empat Madzab. Darul Hikmah : Jawa Timur.
1
Thabaqat al-Syafi’iyyah, Al-Subki, vol. II, hal. 145-146.
2
Al-Qur’an Surat Al-hasyr :7).
3 Imam
Munawir, Mengenal pribadi 30
pendekar dan pemikiran Islam Dari masa Ke Masa, PT.
Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hlm. 295-296.
4 Abdullah
Mustofa al-Maraghi, Op.Cit,
hlm. 108.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar