RESUME
ASWAJA
II
PAHAM
AHLUSSUNAH WAL JAMAAH (ASWAJA)
DISUSUN
OLEH : KELOMPOK 1
NAMA : AHMAD FAIZUN 10210204
: AGUS MAKMUN
ROSID 10210266
JURUSAN : TARBIYAH
PRODI : S.I PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO
- LAMPUNG
TAHUN
2011
Kata
Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah serta inayahnya. Sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah Aswaja II.
Banyak terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat
gandakan amal baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu
yang berguna bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala kekurangan yang ada pada kami dalam
pembuatan makalah ini, kritik dan saran yang membangun yang bisa
menjadi kami lebih baik sangat kami nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan
rahmatnya kepada kita semua.
Metro, 2011
Penulis
ii
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I Pendahuluan
1
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Tujuan Penulisan 1
1.3. Batasan Pembahasan 2
BAB II Pembahasan 3
2.1. Paham Ahl As-Sunnah Wa Al-Jama’ah 3
2.1.1.
Pengertian dan Asal Usul Aswaja 3
BAB III Penutup 7
3.1. Kesimpulan 7
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Islam merupakan salah satu
agama samawi yang diturunkan kepada manusia yang penurunanaya melalui
wahyu, sehingga wajar saja ketika memiki keistimewaan- keistimewaan
dibandingkan dengan agama yang lain, khususnya dalam ke kekomlitan
hukum yang ada dalamnya.
Hukum-hukum yang ada dalam
agama islam pada dasanya terdiri dari dua tingkatan yaitu syariah dan
fiqh, beda halnya dalam syariah tidak perlu adanya ijthad para
mujtahid karena sebab dasarnya yaitu dalil-dalil muhkam, sedangkan
fiqh kita tahu banyak sekali permasalahan yang baru dan belum jelas
dan pasti tentang kedudukan hukum tersebut sehingga, para mujtahidpun
mengerahkan tenaga dan pikiranya untuk memperjelas suatu hukum
tersebut, akan tetapi dalam berijtihad para imam sangat mungkin untuk
berbeda karena dasar dan cara istinbathnya yang berbeda. Contohnya
istinbathnya imam Hambali yang akan dipaparkan berikut ini.
- Tujuan Penulisan
Selain bertujuan untuk mendalami pemahaman tentang
aswaja, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan oleh dosen matakuliah aswaja di STAI Ma’arif
Metro Lampung Tahun 2011.
- Batasan Pembahasan
Dalam penulisan makalah ini penulis memberikan
batasan masalah sebagai berikut.
- Pengertian dan asal usul aswaja
BAB II
PEMBAHASAN
Paham Ahl As-Sunnah Wa
Al-Jama’ah ( aswaja )
- Pengertian dan Asal Usul Aswaja
Istilah aswaja ( Ahlussunah
Wal Jama’ah – Ahl As-Sunnah Wa Al-Jama’ah)
bagi umat islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya,
bukan istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini
dipahami secara berbeda, bahkan menimbulkan kekeliruan yang cukup
fatal. Disini, paling kurang istilah aswaja dipahami pada dua
pemahaman (verstehen).
Pertama dalam
kacamata sejarah islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana
tandingan (counter-discours) terhadap membiaknya paham mu’tazilah1
didunia islam, terutama pada masa abbasiyah. Pada akhir abad ke 3
hijrah, hamper bersamaandengan masa berkuasanya khalifah
al-mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu
abu hasan al-‘asy’ari (260H-+330H) di bashrah dan abu manshur al
maturdi di samarkand. Meskipun pada taraf tertentu, pemikiran kedua
tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara
bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnyagejala hegemoni paham
mu’tazilahyang dilancarkan para tokoh mu’tazilah dan pengikutnya
(Prof. DR. Muhammad Abu Zahrah, 1996:189). Dari kedua pemikiran
ulama’ ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang banyak
mewarnai pemikiran umat islam waktu itu. Bahkan, hal ini menjadi
mainstream (arus utama) pemikiran keagamaan didunia islam yang
kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan
sering di nisbatkan pada sebutan ahl as-sunnah wa al-jama’ah yang
kemudian popular di sebut aswaja.
Kedua
istilah aswaja popular dikalangan umat islam, terutama didasarkan
pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh abu daud , at-tirmidzi dan
ibnu majjah dari abu hurairah yang mengesahkan bahwa umat yahudi akan
terpecah menjadi 71 golongan, umat nasrani akan terpecah menjadi 72
golongan dan umat islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua
golongan tersebut masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu orang
orang yang mengikuti rasulullah dan para sahabatnya. Dalam pandangan
asy syihab al-khafaji dalam nasam ar-riyadh, bahwa satu golongan yang
dimaksud (tidak masuk neraka) adalah golongan ahl as-sunnah wa
al-jama’ah. Pendapat ini dipertegas oleh al hasyiah asy-syanawani,
bahwa yang dimaksud ahl as-sunnah wa al-jama’ah adalah pengikut
imam kelompok abu hasan asy’ari dan para ulama’ madzhab ( imam
hanafi, imam syafi’i, imam maliki dan imam hambali). (syeh hasyim
as’ari, risalah ahl as-sunnah wa al-jama’ah, 141823.
Pendapat asy-syanwani ini
memang cukup beralasan, karena untuk memahami al-qur’an dan
as-sunnah perlu dilakukan penggalian (al-istimbath) yang mendalam dan
sungguh-sungguh (ijtihad). Sementara untuk melakukan proses istinbath
secara langsung kepada al-qur’an dan as-sunnah, diperlukan berbagai
kualifikasi keilmuan yang mendalam, atau dengan kata lain untuk
menjadi seorang mujtahid, diperlukan berbagai penguasaan ilmu yang
tidak sedikit. Maka, disinilah relevansi dan kontekstualitas seorang
muslim dalam mengikuti metodologi (madzhab manhaji) maupun produk
pemikiran (madzhab qouli, nataij, al-ijtihad) yang dikembangkan para
ulama’ madzhab.
Dengan demikian, istilah aswaja
dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus
praktik keagamaan (islam) yang didasarkan pada tradisi (sunnah)
rasulullah, para sahabatnya dan para ulama’ madzhab, sekalipun yang
terahir ini lebih bersifat sekunder. Dengan kata lain, yang dimaksud
dengan aswaja tidak selalu identik dengan suatu mainstream aliran
pemahaman tertentudalam tradisi pemikiran islam. Oleh karena itu
penyebutan beberapa aliran dalam tulisan ini, tidak secara otomatis
menunjukkan paham paham yang paling benar atau paling identik dengan
aswaja. Justru disini perlu ditegaskan, bahwa yang terpenting dalam
pemikiran keagamaan aswaja adalah konsistennya dengan tradisi
keagamaan yang di praktikan rasulullah dan para sahabatnya. Sementara
dalam konteks taqlid, disini lebih bersifat instrumental artinya
signifikasi taqlid, baik dari sisi metodologis (madzhab manhaji)
maupun produk pemikiran keagamaannya (madzhab qouli, nataij
al-ijtihad) lebih dimaksudkan untuk membantu dalam memahami al-qur’an
dan sunnah, ketimbang diletakkan sebagai satu satunya sumber.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, maka
penulis simpulkan aswaja dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran
(pemahaman) dan sekaligus praktik keagamaan (islam) yang didasarkan
pada tradisi (sunnah) rasulullah, para sahabatnya dan para ulama’
madzhab, konsistennya dengan tradisi keagamaan yang di praktikan
rasulullah dan para sahabatnya. Sementara dalam konteks taqlid,
disini lebih bersifat instrumental artinya signifikasi taqlid, baik
dari sisi metodologis (madzhab manhaji) maupun produk pemikiran
keagamaannya untuk membantu manusia memahami al-qur’an dan sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Imam Muhammad, “
Tarikh
Al-Madzahib Al-Islamiyah”,
(Terj. Abd Ar-Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dalam
Islam), Jakarta: Logos, 1996.
Agama, Departemen, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1992.
1
Mengenai
sejarah munculnya paham muktazilah, para pakar berbeda pendapat.
Satu versi mengatakan, bahwa istilah mu’tazilah diidentikan dengan
sekelompok pengikut ali. Menurut abu hasan al-taro’ifi dalam
bukunya ahl al ahwa wa al-bida’, bahwa paham ini bermula dari
peristiwa pembaiatan dan penyerahan jabatan halifah yang dilakukan
oleh hasan ibn ‘ali kepada muawwiyah, bertolak dari peristiwa ini,
sekelompok pengikut ali kemudian mengasingkan diri dari hasan,
muawwiyah ibn abu sufyan dan semua orang lain. Pada umumnya mereka
menetap di rumah-eumah dan masjid-masjid, sementara dalam versi
lain. Dan ini yang menjadi kecenderungan pendapat ulama’ pada
umumnya, bahwa kemunculan paham mu’tazilah bermula dari
pengunduran diri washil ibnu atha pada forum ilmiyah yang dibina
oleh hasan al bashrikarena berbeda pandangan, kemudian washil
membuat forum baru pada masjid yang sama (Prof. DR. Muhammad Abu
Zahrah, 1996: 149).
iii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar