DOKUMEN MANBA'UL ULUM

DOKUMEN MANBA'UL ULUM
sejarah pengarsipan

Minggu, 18 Desember 2011

aswaja ii



RESUME
ASWAJA II
PAHAM AHLUSSUNAH WAL JAMAAH (ASWAJA)


DISUSUN OLEH : KELOMPOK 1

NAMA : AHMAD FAIZUN 10210204
: AGUS MAKMUN ROSID 10210266
JURUSAN : TARBIYAH
PRODI : S.I PAI














SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO - LAMPUNG
TAHUN 2011




Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta inayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah Aswaja II.
Banyak terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat gandakan amal baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu yang berguna bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala kekurangan yang ada pada kami dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran yang membangun yang bisa menjadi kami lebih baik sangat kami nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.


Metro, 2011
Penulis













ii
DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I Pendahuluan 1
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Tujuan Penulisan 1
1.3. Batasan Pembahasan 2

BAB II Pembahasan 3
2.1. Paham Ahl As-Sunnah Wa Al-Jama’ah 3
2.1.1. Pengertian dan Asal Usul Aswaja 3

BAB III Penutup 7
3.1. Kesimpulan 7

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan salah satu agama samawi yang diturunkan kepada manusia yang penurunanaya melalui wahyu, sehingga wajar saja ketika memiki keistimewaan- keistimewaan dibandingkan dengan agama yang lain, khususnya dalam ke kekomlitan hukum yang ada dalamnya.
Hukum-hukum yang ada dalam agama islam pada dasanya terdiri dari dua tingkatan yaitu syariah dan fiqh, beda halnya dalam syariah tidak perlu adanya ijthad para mujtahid karena sebab dasarnya yaitu dalil-dalil muhkam, sedangkan fiqh kita tahu banyak sekali permasalahan yang baru dan belum jelas dan pasti tentang kedudukan hukum tersebut sehingga, para mujtahidpun mengerahkan tenaga dan pikiranya untuk memperjelas suatu hukum tersebut, akan tetapi dalam berijtihad para imam sangat mungkin untuk berbeda karena dasar dan cara istinbathnya yang berbeda. Contohnya istinbathnya imam Hambali yang akan dipaparkan berikut ini.

    1. Tujuan Penulisan
Selain bertujuan untuk mendalami pemahaman tentang aswaja, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen matakuliah aswaja di STAI Ma’arif Metro Lampung Tahun 2011.

    1. Batasan Pembahasan
Dalam penulisan makalah ini penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut.
  • Pengertian dan asal usul aswaja


BAB II
PEMBAHASAN

Paham Ahl As-Sunnah Wa Al-Jama’ah ( aswaja )
  1. Pengertian dan Asal Usul Aswaja
Istilah aswaja ( Ahlussunah Wal Jama’ah – Ahl As-Sunnah Wa Al-Jama’ah) bagi umat islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukan istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda, bahkan menimbulkan kekeliruan yang cukup fatal. Disini, paling kurang istilah aswaja dipahami pada dua pemahaman (verstehen).
Pertama dalam kacamata sejarah islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan (counter-discours) terhadap membiaknya paham mu’tazilah1 didunia islam, terutama pada masa abbasiyah. Pada akhir abad ke 3 hijrah, hamper bersamaandengan masa berkuasanya khalifah al-mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu abu hasan al-‘asy’ari (260H-+330H) di bashrah dan abu manshur al maturdi di samarkand. Meskipun pada taraf tertentu, pemikiran kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnyagejala hegemoni paham mu’tazilahyang dilancarkan para tokoh mu’tazilah dan pengikutnya (Prof. DR. Muhammad Abu Zahrah, 1996:189). Dari kedua pemikiran ulama’ ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang banyak mewarnai pemikiran umat islam waktu itu. Bahkan, hal ini menjadi mainstream (arus utama) pemikiran keagamaan didunia islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan sering di nisbatkan pada sebutan ahl as-sunnah wa al-jama’ah yang kemudian popular di sebut aswaja.
Kedua istilah aswaja popular dikalangan umat islam, terutama didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh abu daud , at-tirmidzi dan ibnu majjah dari abu hurairah yang mengesahkan bahwa umat yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat nasrani akan terpecah menjadi 72 golongan dan umat islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan tersebut masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu orang orang yang mengikuti rasulullah dan para sahabatnya. Dalam pandangan asy syihab al-khafaji dalam nasam ar-riyadh, bahwa satu golongan yang dimaksud (tidak masuk neraka) adalah golongan ahl as-sunnah wa al-jama’ah. Pendapat ini dipertegas oleh al hasyiah asy-syanawani, bahwa yang dimaksud ahl as-sunnah wa al-jama’ah adalah pengikut imam kelompok abu hasan asy’ari dan para ulama’ madzhab ( imam hanafi, imam syafi’i, imam maliki dan imam hambali). (syeh hasyim as’ari, risalah ahl as-sunnah wa al-jama’ah, 141823.
Pendapat asy-syanwani ini memang cukup beralasan, karena untuk memahami al-qur’an dan as-sunnah perlu dilakukan penggalian (al-istimbath) yang mendalam dan sungguh-sungguh (ijtihad). Sementara untuk melakukan proses istinbath secara langsung kepada al-qur’an dan as-sunnah, diperlukan berbagai kualifikasi keilmuan yang mendalam, atau dengan kata lain untuk menjadi seorang mujtahid, diperlukan berbagai penguasaan ilmu yang tidak sedikit. Maka, disinilah relevansi dan kontekstualitas seorang muslim dalam mengikuti metodologi (madzhab manhaji) maupun produk pemikiran (madzhab qouli, nataij, al-ijtihad) yang dikembangkan para ulama’ madzhab.
Dengan demikian, istilah aswaja dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus praktik keagamaan (islam) yang didasarkan pada tradisi (sunnah) rasulullah, para sahabatnya dan para ulama’ madzhab, sekalipun yang terahir ini lebih bersifat sekunder. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan aswaja tidak selalu identik dengan suatu mainstream aliran pemahaman tertentudalam tradisi pemikiran islam. Oleh karena itu penyebutan beberapa aliran dalam tulisan ini, tidak secara otomatis menunjukkan paham paham yang paling benar atau paling identik dengan aswaja. Justru disini perlu ditegaskan, bahwa yang terpenting dalam pemikiran keagamaan aswaja adalah konsistennya dengan tradisi keagamaan yang di praktikan rasulullah dan para sahabatnya. Sementara dalam konteks taqlid, disini lebih bersifat instrumental artinya signifikasi taqlid, baik dari sisi metodologis (madzhab manhaji) maupun produk pemikiran keagamaannya (madzhab qouli, nataij al-ijtihad) lebih dimaksudkan untuk membantu dalam memahami al-qur’an dan sunnah, ketimbang diletakkan sebagai satu satunya sumber.

BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, maka penulis simpulkan aswaja dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus praktik keagamaan (islam) yang didasarkan pada tradisi (sunnah) rasulullah, para sahabatnya dan para ulama’ madzhab, konsistennya dengan tradisi keagamaan yang di praktikan rasulullah dan para sahabatnya. Sementara dalam konteks taqlid, disini lebih bersifat instrumental artinya signifikasi taqlid, baik dari sisi metodologis (madzhab manhaji) maupun produk pemikiran keagamaannya untuk membantu manusia memahami al-qur’an dan sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Imam Muhammad, “ Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah”, (Terj. Abd Ar-Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dalam Islam), Jakarta: Logos, 1996.
Agama, Departemen, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1992.
1 Mengenai sejarah munculnya paham muktazilah, para pakar berbeda pendapat. Satu versi mengatakan, bahwa istilah mu’tazilah diidentikan dengan sekelompok pengikut ali. Menurut abu hasan al-taro’ifi dalam bukunya ahl al ahwa wa al-bida’, bahwa paham ini bermula dari peristiwa pembaiatan dan penyerahan jabatan halifah yang dilakukan oleh hasan ibn ‘ali kepada muawwiyah, bertolak dari peristiwa ini, sekelompok pengikut ali kemudian mengasingkan diri dari hasan, muawwiyah ibn abu sufyan dan semua orang lain. Pada umumnya mereka menetap di rumah-eumah dan masjid-masjid, sementara dalam versi lain. Dan ini yang menjadi kecenderungan pendapat ulama’ pada umumnya, bahwa kemunculan paham mu’tazilah bermula dari pengunduran diri washil ibnu atha pada forum ilmiyah yang dibina oleh hasan al bashrikarena berbeda pandangan, kemudian washil membuat forum baru pada masjid yang sama (Prof. DR. Muhammad Abu Zahrah, 1996: 149).















iii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar