DOKUMEN MANBA'UL ULUM

DOKUMEN MANBA'UL ULUM
sejarah pengarsipan

Kamis, 29 Desember 2011

PENGERTIAN HUKUM SYARA’ HUKUM TAKLIFI DAN MACAM MACAMNYA



RESUME
USHUL FIQH
PENGERTIAN HUKUM SYARA’
HUKUM TAKLIFI DAN MACAM MACAMNYA



DISUSUN OLEH : KELOMPOK 8

NAMA : ASTI MEILANI
: MARYATI 10210225
SEMESTER : III A
JURUSAN : TARBIYAH
PRODI : S.I PAI












SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO - LAMPUNG
TAHUN 2011
KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta inayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah Ushul Fiqh.
Banyak terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat gandakan amal baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu yang berguna bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala kekurangan yang ada pada kami dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran yang membangun yang bisa menjadi kami lebih baik sangat kami nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.


Metro, 2011
Penulis











ii
DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 1
1.3. Metode Penulisan 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum Syara’ 2
2.2. Pembagian Hukum Syara’ 5
2.2.1. hukum Taklifi 5
2.2.2. Hukum Wadh’I 12


BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan 14

DAFTAR PUSTAKA












iii


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam. Oleh karena itu penyusun mencoba membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
  1. Rumusan Masalah
    1. Apa pengertian hukum syara’?
    2. Berapa macam pembagian hukum syara’?
    3. Berapa macam bentuk-bentuk hukum taklifi?
    4. Berapa macam bentuk-bentuk hukum wadh’i?
    5. Apa pengertian mahkum bih?
    6. Apa pengertian mahkum alaih?
    7. Siapakah pembuat hukum (hakim) bagi umat Islam?
  2. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penyusun menggunakan metode library research (metode kepustakaan), yaitu dengan jalan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku dengan tujuan untuk mengambil dan mendapatkan bahan-bahan yang ada hubungannya tentang hukum syara dan unsur-unsurnya.
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM SYARA

    1. Pengertian Hukum syara
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan” menurut terminology ushul fiqh, hukum berarti :
خطاب الله المتلق بأفعال المكلفين بالاقضاء او التخيير اوالوضع
Khitab (kalam) allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan ), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).

Kitab allah yang dimaksud dalam definisi diatas adalah kalam allah. Kalam allah sebagai sifatnya adalah al kalam al-nafsy (kalam yang ada pada diri allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam yang seperti itulah yang disebut sebagai hukum syara’.
Kalam allah adalah hukum baik langsung, seperti ayat ayat hukum dalam al-qur’an atau secara tidak langsung, seperti hadits hadits hukum dalam sunnah rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadits hukum dianggap sebagai kalam allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan rasulullah dibidang tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari allah juga.
Seperti firman allah dalam surat an-najm : 3-4.
          
Artinya : 3. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. 4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa rasulullah tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Begitu juga dengan ijma’ harus mempunyai sandaran baik al-qur’an atau sunnah rasulullah. Dengan demikian, kitab allah dalam definisi hukum diatas, mencakup semua dalil dalil hukum yang diakui oleh syara’, sehingga apa yang dimaksud dengan kitab dalam definisi diatas adalah ayat ayat hukum dan hadits-hadits hukum. Misalnya firman allah :
                         
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
[388] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

Bila dicermati definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadits-hadits hukum dapat dikategorikan kedalam beberapa macam :
  1. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
  2. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan yang dilakukan mukalaf yang dilarang itu hukumnya haram.
  3. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan. Dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
  4. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk di tinggalkan itu sifatnya makruh.
  5. Member kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan itu sifatnya sunah.
  6. Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
  7. Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
  8. Menetapkan sesuatu sebagai mani’ (penghalang).
  9. Menetapkan sesuatu sebagai criteria syah san fasad/batal.
  10. Menetapkan sebagai sesuatu kriteria ‘azimah dan ruhkshah.
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.1
    1. Pembagian Hukum Syara
Hukum syara terbagi dua macam:
  1. Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
Teks ayat hukum dan hadits hukum yang yang berhubungan dengan hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk.
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
  1. Macam-Macam Hukum Taklifi.
  1. Ijab, adalah tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur: 56
    ….

artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat….”
Dan dalam surat al-ankabut ayat 45 dijelaskan :
                        
Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Pengertian wajib jika dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, hukum wajib di bagi menjadi dua :
  1. Wajib ‘aini
Wajib ‘aini adalah : kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh atau berakal (mukalaf) tanpa kecuali.
  1. Wajib kifa’i
Wajib kifa’I adalah : kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila telah dilakuman sebagian umat islam, maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan melaksanakannya.
Pengertian wajib jika dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi menjadi dua :
  1. Wajib mu’ayyan
Wajib mu’ayyan adalah yaitu kewajiban melakukan sejenis perbuatan tertentu seperti sholat, puasa, dan lainnya. Dan mukallaf belum gugur kewajibannya sebelum melaksanakannya.
  1. Wajib mukhayyar
yaitu sebuah kewajiban untuk melakukan beberapa macam perbuatan tertentu dengan memilih salah satu dari yang ditentukan. Contoh melanggar sumpah, maka kafarotnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin atau pakaian ataupun juga memerdekakan budak.
Pengertian wajib dari segi waktu
  1. Wajib Muaqqot
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk mengerjakannya dan waktunya sudah ditentukan. Contoh : sholat, puasa romadlon dan lain-lain.
  1. Wajib Mutlak
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang waktunya belum ditentukan. Contoh : haji yang diwajibkan bagi yang mampu dan waktunya ini belum jelas.

  1. Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya. Misalnya: dalam surah al-Baqarah ayat 282
          

artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”2
Kalimat maka tuliskanlah olehmu”, dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah, tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada Nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (al-Baqarah: 283),
….         ……
artinya: “Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya….”
Tuntutan perintah dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti disebut dalam Nadb.
Nadb di bagi menjadi 3 bagian yaitu :
  1. Sunnah Hadyi yaitu suatu perkara yang disunnahkan sebagai penyempurna perbuatan wajib.Orang yang meninggalkannya tidak dikenai siksa tetapi tercela. contoh adzan, sholat berjamah dan lain – lain.
  2. Sunnah Zaidah yaitu perkara yang disunnahkan untuk mengerjakannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
  3. Sunnah Nafal yaitu perkara yang disunnahkan karena sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak disiksa / dicela. Contoh sholat sunnat
  1. Ibahah adalah khitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat adai khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 2, yang artinya: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji bolehlah kamu berburu”.
Pembagian mubah dibagi menjadi tiga macam :
  1. Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak.
  2. Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan bahwa syara’ memberikan kelonggaran bagi yang melakukannya.
  3. Tidak diterangkan sama sekali baik boleh mengerjakan atau meninggalkan yang seperti ini kembali ke baroitul asliyah.
  1. Karanah,adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan ini disebut juga karanah, misalnya hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
Makruh menurut Hanafiah dibagi dua :
  1. Makruh Tahtiman yaitu perkara yang ditetapkan meninggalkannya dengan bersumberkan dalil dhonni. seperti hadist ahad dan qiyas. contoh memakai perhiasan emas dan sutra asli bagi kaum lelaki yang diterangkan dalam hadist ahad dan hukumnya mendapatkan hukuman bagi yang meninggalkannya.
  2. Makruh Tanzih yaitu perkara yang dituntut untuk meninggalkanya dengan tuntutan yang tidak keras. seperti memakan daging keledai ahli / jinak dan meminum susunya hukumnya tidak mendapatkan siksa bagi yang melakukannya.
  1. Tahrim adalah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Contoh memakan bangkai dan sebagainya. Misalnya, firman Allah dalam surah Al-An’am: 151, tentang larangan membunuh.
         

artinya: “Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah…..”
Khitab ayat ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang disebut dengan haram.
Haram dibagi dua yaitu:
  1. Haram asli karena zatnya yaitu perkara yang diharamkan dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat merusak/ berbahaya. Contoh zina mencuri dll.
  2. Haram ghoiru zat yaitu perkara yang hukum aslinya itu wajib, sunnah, mubah, tapi karena mengerjakannya dibarengi dengan cara atau [perkara haram seingga hukumya haram. Contoh sholat memakai dari baju hasil menggosob dll.

  1. Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
  1. Macam-Macam Hukum Wadh’i
  1. Sebab, adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78,
   
artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.”
Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
  1. syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6
     
artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
  1. Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
  1. Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
  2. Bathil, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.












BAB III
PENUTUP
    1. KESIMPULAN
    1. Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
    2. Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
    3. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
    4. Hukum wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah dan bathil.










DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Syafi’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.
Khalaf, Abdul, Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
Khallaf, Abd al-Wahhab Al-Syeikh, Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: dar al-Qalam, 1983, Cet. XV.















1 Amir Syarifuddin,. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu

2 Rachmat Syafi’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar