RESUME
USHUL
FIQH
PENGERTIAN
HUKUM SYARA’
HUKUM
TAKLIFI DAN MACAM MACAMNYA
DISUSUN
OLEH : KELOMPOK 8
NAMA : ASTI MEILANI
: MARYATI
10210225
SEMESTER : III A
JURUSAN : TARBIYAH
PRODI : S.I PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO
- LAMPUNG
TAHUN
2011
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah serta inayahnya. Sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah Ushul Fiqh.
Banyak terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat
gandakan amal baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu
yang berguna bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala kekurangan yang ada pada kami dalam
pembuatan makalah ini, kritik dan saran yang membangun yang bisa
menjadi kami lebih baik sangat kami nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan
rahmatnya kepada kita semua.
Metro, 2011
Penulis
ii
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah 1
1.2.
Rumusan Masalah 1
1.3.
Metode Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Hukum Syara’ 2
2.2.
Pembagian Hukum Syara’ 5
2.2.1.
hukum Taklifi 5
2.2.2.
Hukum Wadh’I 12
BAB III PENUTUP
3.1.
Kesimpulan 14
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting
untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa)
dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang
sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Oleh karena itu penyusun mencoba
membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan
hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
- Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum syara’?
2. Berapa macam pembagian hukum syara’?
3. Berapa macam bentuk-bentuk hukum taklifi?
4. Berapa macam bentuk-bentuk hukum wadh’i?
5. Apa pengertian mahkum bih?
6. Apa pengertian mahkum alaih?
7. Siapakah pembuat hukum (hakim) bagi umat Islam? - Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penyusun menggunakan
metode library research (metode kepustakaan), yaitu dengan jalan
mengumpulkan dan mempelajari buku-buku dengan tujuan untuk mengambil
dan mendapatkan bahan-bahan yang ada hubungannya tentang hukum syara
dan unsur-unsurnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
HUKUM SYARA
HUKUM SYARA
- Pengertian Hukum syara
Secara etimologi kata hukum
(al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan” menurut
terminology ushul fiqh, hukum berarti :
خطاب
الله المتلق بأفعال المكلفين بالاقضاء
او التخيير اوالوضع
Khitab (kalam) allah yang
mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah,
larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan),
takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan
dan tidak melakukan ), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).
Kitab allah yang dimaksud dalam
definisi diatas adalah kalam allah. Kalam allah sebagai sifatnya
adalah al kalam al-nafsy (kalam yang ada pada diri allah) yang tidak
mempunyai huruf dan suara. Kalam yang seperti itulah yang disebut
sebagai hukum syara’.
Kalam allah adalah hukum baik
langsung, seperti ayat ayat hukum dalam al-qur’an atau secara tidak
langsung, seperti hadits hadits hukum dalam sunnah rasulullah yang
mengatur amal perbuatan manusia. Hadits hukum dianggap sebagai kalam
allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan rasulullah
dibidang tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari allah juga.
Seperti firman allah dalam
surat an-najm : 3-4.
Artinya :
3. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya.
4. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Kedua ayat
diatas menjelaskan bahwa rasulullah tidak mengucapkan sesuatu
dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Begitu juga dengan ijma’
harus mempunyai sandaran baik al-qur’an atau sunnah rasulullah.
Dengan demikian, kitab allah dalam definisi hukum diatas, mencakup
semua dalil dalil hukum yang diakui oleh syara’, sehingga apa yang
dimaksud dengan kitab dalam definisi diatas adalah ayat ayat hukum
dan hadits-hadits hukum. Misalnya firman allah :
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388].
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
[388]
Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan
Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Bila dicermati
definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau
hadits-hadits hukum dapat dikategorikan kedalam beberapa macam :
- Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
- Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan yang dilakukan mukalaf yang dilarang itu hukumnya haram.
- Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan. Dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
- Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk di tinggalkan itu sifatnya makruh.
- Member kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan itu sifatnya sunah.
- Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
- Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
- Menetapkan sesuatu sebagai mani’ (penghalang).
- Menetapkan sesuatu sebagai criteria syah san fasad/batal.
- Menetapkan sebagai sesuatu kriteria ‘azimah dan ruhkshah.
Hukum syara adalah seperangkat peraturan
berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui
dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama
Islam.1
- Pembagian Hukum Syara
Hukum syara terbagi dua macam:
- Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
Teks ayat hukum dan hadits
hukum yang yang berhubungan dengan hukum taklifi terbagi kepada lima
bentuk.
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama
ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah,
karahah dan tahrim.
- Macam-Macam Hukum Taklifi.
- Ijab, adalah tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur: 56
….
artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan
zakat….”
Dan dalam surat al-ankabut ayat
45 dijelaskan :
Artinya :
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran)
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat
Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Pengertian wajib
jika dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, hukum wajib di
bagi menjadi dua :
- Wajib ‘aini
Wajib ‘aini
adalah : kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah
baligh atau berakal (mukalaf) tanpa kecuali.
- Wajib kifa’i
Wajib kifa’I
adalah : kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila
telah dilakuman sebagian umat islam, maka kewajiban itu sudah
dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya
tidak lagi diwajibkan melaksanakannya.
Pengertian wajib
jika dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi
menjadi dua :
- Wajib mu’ayyan
Wajib mu’ayyan
adalah yaitu kewajiban melakukan
sejenis perbuatan tertentu seperti sholat, puasa, dan lainnya. Dan
mukallaf belum gugur kewajibannya sebelum melaksanakannya.
- Wajib mukhayyar
yaitu sebuah kewajiban untuk melakukan beberapa
macam perbuatan tertentu dengan memilih salah satu dari yang
ditentukan. Contoh
melanggar sumpah, maka kafarotnya ialah memberi makan sepuluh orang
miskin atau pakaian ataupun juga memerdekakan budak.
Pengertian
wajib
dari segi waktu
- Wajib Muaqqot
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk
mengerjakannya dan waktunya sudah ditentukan. Contoh
: sholat, puasa romadlon dan lain-lain.
- Wajib Mutlak
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang
waktunya belum ditentukan. Contoh
: haji yang diwajibkan bagi yang mampu dan waktunya ini belum jelas.
- Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya. Misalnya: dalam surah al-Baqarah ayat 282
artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”2
Kalimat maka tuliskanlah olehmu”, dalam ayat itu
pada dasarnya mengandung perintah, tetapi terdapat indikasi yang
memalingkan perintah itu kepada Nadb yang terdapat dalam kelanjutan
dari ayat tersebut (al-Baqarah: 283),
….
……
artinya: “Akan tetapi, apabila sebagian kamu
mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan
amanatnya….”
Tuntutan perintah dalam ayat itu, berubah menjadi
nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah kelanjutan ayat,
yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka
penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti
disebut dalam Nadb.
Nadb di bagi menjadi 3 bagian
yaitu :
- Sunnah Hadyi yaitu suatu perkara yang disunnahkan sebagai penyempurna perbuatan wajib.Orang yang meninggalkannya tidak dikenai siksa tetapi tercela. contoh adzan, sholat berjamah dan lain – lain.
- Sunnah Zaidah yaitu perkara yang disunnahkan untuk mengerjakannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
- Sunnah Nafal yaitu perkara yang disunnahkan karena sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak disiksa / dicela. Contoh sholat sunnat
- Ibahah adalah khitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat adai khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 2, yang artinya: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji bolehlah kamu berburu”.
Pembagian mubah dibagi menjadi tiga macam :
- Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak.
- Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan bahwa syara’ memberikan kelonggaran bagi yang melakukannya.
- Tidak diterangkan sama sekali baik boleh mengerjakan atau meninggalkan yang seperti ini kembali ke baroitul asliyah.
- Karanah,adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan ini disebut juga karanah, misalnya hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
Makruh menurut Hanafiah dibagi dua :
- Makruh Tahtiman yaitu perkara yang ditetapkan meninggalkannya dengan bersumberkan dalil dhonni. seperti hadist ahad dan qiyas. contoh memakai perhiasan emas dan sutra asli bagi kaum lelaki yang diterangkan dalam hadist ahad dan hukumnya mendapatkan hukuman bagi yang meninggalkannya.
- Makruh Tanzih yaitu perkara yang dituntut untuk meninggalkanya dengan tuntutan yang tidak keras. seperti memakan daging keledai ahli / jinak dan meminum susunya hukumnya tidak mendapatkan siksa bagi yang melakukannya.
- Tahrim adalah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Contoh memakan bangkai dan sebagainya. Misalnya, firman Allah dalam surah Al-An’am: 151, tentang larangan membunuh.
artinya: “Jangan kamu membunuh jiwa yang
telah diharamkan Allah…..”
Khitab ayat ini disebut dengan tahrim, akibat dari
tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang disebut dengan haram.
Haram dibagi dua yaitu:
- Haram asli karena zatnya yaitu perkara yang diharamkan dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat merusak/ berbahaya. Contoh zina mencuri dll.
- Haram ghoiru zat yaitu perkara yang hukum aslinya itu wajib, sunnah, mubah, tapi karena mengerjakannya dibarengi dengan cara atau [perkara haram seingga hukumya haram. Contoh sholat memakai dari baju hasil menggosob dll.
- Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
- Macam-Macam Hukum Wadh’i
- Sebab, adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78,
artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari
tergelincir.”
Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan
sebab wajibnya shalat.
- syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6
artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim
menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
- Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan
sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
- Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
- Bathil, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
BAB
III
PENUTUP
- KESIMPULAN
- Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
- Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
- Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
- Hukum wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah dan bathil.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Syafi’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.
Khalaf, Abdul, Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
Khallaf, Abd al-Wahhab
Al-Syeikh, Ilmu
Ushul Fiqh,
Kuwait: dar al-Qalam, 1983, Cet. XV.
1
Amir Syarifuddin,. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat:
Logos Wacana Ilmu
2
Rachmat Syafi’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung
: Pustaka Setia