DOKUMEN MANBA'UL ULUM

DOKUMEN MANBA'UL ULUM
sejarah pengarsipan

Rabu, 23 Mei 2012

pai 2, penetapan hukum pada atas tasyri’ dalam al-qur’an

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Keistemewaan ajaran Islam daripada ajaran agama lainnya adalah sisi universalitasnya. Ajaran-ajaran samawi terdahulu, selalu ditujakan kepada kaum tertentu. Sedangkan ajaran Islam diturunkan untuk seluruh umat, baik manusia ataupun jin (kaffah li al-alamin). Telah dimaklumi, bahwa perundang-undangan manapun harus selaras dengan kondisi dan relevansi pihak yang dibebani undang-undang tersebut. Umat Nabi adam as bisa merasakan kelonggaran syari’at berupa kebolehan menikahi saudara sendiri, karena pada saat itu populasi manusia baru dari satu keturunan. Sedangkan umat Nabi Musa as harus merasakan ketatnya syariat, karena dalam menghadapi Bani Israel yang terkenal keras kepala, membutuhkan langkah-langkah preventif dengan menerapkan undang-undang yang sekiranya dapat membuat mereka jera. Sedangkan syari’at Nabi Muhammad saw (Islam) yang ditujukan untuk seluruh makhluk di dunia ini, baik manusia atau jin, tentunya harus membentuk undang-undang (syari’at) yang bisa diterima oleh semua kalangan. Untuk mewujudkan undang-undang tersebut, syari’at Islam memiliki prinsip-prinsip dasae agar dapat diterima oleh seluruh makhluk di segala zaman. Diantaranya:
Telah kita ketahui bersama bahwa sumber penetapan hukum di masa Nabi adalah Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Dua hal tersebut merupakan rujukan tertinggi dalam berfatwa dan memutuskan suatu hukum. Namun setelah Nabi wafat dan Wahyu tidak turun lagi, maka kepemimpinan umat dalam urusan dunia dan agama, beralih ke tangan Khulafa al-Rasyidin dan pra sahabat yang terkemuka. Mereka itulah yang mulai memikul beban dan bangkit dengan tugas yang berat.
Dalam menjawab hukum persoalan yang baru, maka para sahabat terlebih dahulu merujuk ke Al-Qur'an, bila tidak ada disana, mereka berpindah ke Al-hadits dan setelah tidak ada al-hadits, maka para sahabat tersebut baru Berijtihad.
Setelah masa khalifah yang keempat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya oleh dipimpin Bani Umayah. Pemerintahan ini didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Supyan yang sebelumnya menjadi Gubernur Damaskus.

1.2.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana penetapan hukum atas tasyri’ dalam al-qur’an?
2.    Bagaimana Penetapan Hukum dan hukum sumber pada masa sahabat generasi pertama.

1.3.    Batasan pembahasan
1.    penetapan hukum atas tasyri’ dalam al-qur’an?
2.    Penetapan Hukum dan hukum sumber pada masa sahabat generasi pertama.
BAB II
PEMBAHASAN


1.    penetapan hukum pada atas tasyri’ dalam al-qur’an
syari’at Nabi Muhammad saw (Islam) yang ditujukan untuk seluruh makhluk di dunia ini, baik manusia atau jin, tentunya harus membentuk undang-undang (syari’at) yang bisa diterima oleh semua kalangan. Untuk mewujudkan undang-undang tersebut, syari’at Islam memiliki prinsip-prinsip dasae agar dapat diterima oleh seluruh makhluk di segala zaman. Diantaranya:
1.    Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj)
Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini secara tegas disebutkan dalam a-Quran,
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا ….
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… (QS. Al-Baqarah: 286)
Al-Yatibi mengatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syari’at hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh kemampuan manusia -melihat prinsip ini- tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).
Dalam menetapkan hukum, Allah swt. Senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madlarat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis fari pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan, “Allah membuat undang-undang syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa ekses negatif (madlarat) dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfa’at).
Namun bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang sulit dalam pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban, sehingga kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat, misalnya sulit mencari nafkah, tidak termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj diatas. Karena kesulitan yang sifatnya seperti itu tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya keberuntungan saja.
Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat seringakli dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam bearamal.
2.    Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa ddasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan.
Umat manusia tidak diperintahkan untuk mencari-cari sesuatu yang justru akan memperberat diri sendiri. Allah swt. Berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ    
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya akan menyusahkan kalian....(QS. al-Maidah: 101)
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini adalah ketika Nabi sedang berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di mana untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa menyusahkan si penanya sendiri. Karena, jawaban yang akan ia terima merupakan baban dari si penanya sendiri. Padahal prinsip agama adalah pengurangan terhadap beban. (taqlil al-taklif).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-Quran menafsirkan sesuai kebutuhan masyarakat pada saat tiu. Sedangkan yang tidak dibutuhkan didiamkan saja, dengan maksud nantinya ayat-ayat tersebut dapat ditafsiri sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat pada masa yang akan datang. Prinsip ini telah disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya. Dan dia telah menetapkan ketentuan-ketentuan, maka janganlah kalian melampauinya. Dia juga telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah kalian merusaknya, serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat buat kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian membicaraknnya.”
3.    Penetapan Hukum secara Periodik
Al-quran merupakan kitab suci yang dalam prosesi tasri’ sangat memperhatikan berbagai aspek, baik natural, spiritual, kultural, maupun sosial uamt. Dalam menetapkan hukum, al-Quran selalu mempertimbangkan, apakah mental spiritual manusia telah siap untuk menerima ketentuan yang akan dibebankan kepadanya?. Hal ini terkait erat dengan prinsip kesua, yakni tidak memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan kami kemukakan tiga periode tasryi’ al-Quran;
Pertama, mendiamkan, yakni ketika al-Quran hendak melarang sesuatu, maka sebelumnya tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan contoh yang sebaliknya. Sebagai contoh, untuk menetapkan keharaman minuman khamr. Sebagai langkah pertama, yang dilakukan syari’ (Nabi Muhammaf saw) adalah mendiamkan kebiasaan buruk, akan tetapi Nabi sendiri menghindarinya.
Kedua, menyinggung manfat ataupun madlaratnya secara global. Dalam contoh khamr di atas, sebagai langkah kedua, turun ayat yang menerangkan tentang manfaat dan madlarat minum khamr. Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek sampingnya lbih besar daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang kemudian segera disusul dengan menyinggung efek khamr bagi pelaksanaan ibadah (al-Nisa: 43)
Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah yang paling akhir (QS.al-Maidah: 90)
Demikian juga dalam menetapkan hukum yang bersifat perintah. Kewajiban shalat misalnya. Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di Mekah), di saat umat Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban shalat hanya dua raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kahawatir terjadi penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari suku Qurasy. Sebagaimana disebutkan dalam surat Qaf: 39
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah (shalatlah) sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)”
Lalu surat al-Mu’min: 55
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ
“Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah (shalatlah) seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”
Ketika penderitaan umat telah menyurut dengan dicabutnya pemboikotan atas Bani Hasyim, dumulailah tahap kedua pelaksanaan shalat. Hal itu dimulai setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj dimana Nabi membawa perintah dari Allah swt. Untuk melaksanakan shalat lima waktu. Dalam hal ini Nabi bersabda, “Pada Malam Isra’ Allah swt, mewajibkan kepada umatku lima puluh shalat. Tak henti-hentinya aku meminta keringanan, hingga kemudian kewajiban itu menjadi lima (kali) dalam sehari semalam.
Perintah dalam ayat tersebut kemudian dijabarkan secara jelas oleh Nabi sebagai kewajiban shalat lima waktu, sebagaimana perintah Nabi ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, “Kabarkan kepada mereka (penduduk Yaman), bahwasannya Allah swt telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Akkhirnya ketika umat Islam telah mulai merasakan ketenangan di negeri baru mereka, Madinah, turunlah kewajiban-kewajiban yang sifatnya lebih terperinci, yaitu dimulai dengan syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum (QS. Al-Maidah: 6), serta rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis pelaksanaan shalat sendiri merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi saw. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.
4.    Sejalan dengan Kemaslahatan Universal
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, gama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam.
Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik dengan pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia. Karenanya, segala sesuatu yang ada di mayapada ini merupakan fasilitas yang berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. ‘Abd al-Wahab Khalaf berkata, “Dalam membentuk hukum, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat (ratio logis) yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan bebrapa buktu bahwa tujuan legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’I menetapkan hukum-hukum itu sejalan dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada kemaslahatan yang sebanding dengan hukum tersebut.
5.    Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatpi juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum sesuai hukum Islam.
Penyamarataan hak di atas berimplikasi pada keadilan yang seringakli didengungkan al-Quran dalam menetapkan hukum,
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ…
… Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil.... (QS. Al-Nisa: 58)
Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan demi pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah)

2.2.    Penetapan Hukum Pada Masa Sahabat
Perkembangan Tasri’ pada masa sahabat dimulai sejak wafatnya Rasulullah saw yaitu tahun 11 H (632 M) dan berakhir pada akhir abad 1 H. Pada periode ini disebut periode sahabat sebab kekuasaan perundang-undangan dimotori oleh para tokoh sahabat. Diantara ada sahabat yang hidup sampai akhir abad 1 H seperti Anas bin Malik yang wafat pada tahun 93 H (714 M).
Periode ini adalah periode interpretasi terhadap Undang-undang (tasyri’) dan terbukanya pintu-pintu pengakajian hukum-hukum terhadap peristiwa yang ada ketetapan hukumnya secara jelas. Dan tokoh-tokoh sahabat memunculkan banyak persepsi dalam menginterpretasi teks-teks hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah yang merupakan bahan referensi pandangan yuridis bagi penafsiran. Dari para sahabat inilah timbul fatwa-fatwa hukum dalam berbagai problema yang tidak ada ketetapan nasnya secara jelas yang kemudian dianggap sebagai dasar dalam berijtihad dalam mengistimbatkan suatu hukum. (Khalaf, 2002: 44)
1.    Pemegang Kekuasaan Tasyri’ Pada Periode Sahabat
Pada periode Tasyri’ yang pertama (Rasulullah saw) yang telah mewariskan kepada umat Islam suatu undang-undang yang produknya dari teks-teks hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah. Tetapi, tidak setiap muslim secara individu mampu merujukkan seluruh persoalannya kepada materi undang-undang pokok tersebut bahkan tidak sanggup memahami hukum-hukum yang ditunjuki nas-nas disebabkan oleh 3 faktor:
a.    Kebanyakan umat Islam adalah orang awam yang belum mampu memahami nas-nas tersebut kecuali dengan bantuan orang-orang yang mengajarkan kepadanya.
b.    Materi undang-undang tersebut belum tersebar luas dikalangan umat Islam sehingga setiap individu belum dapat mempelajarinya, sebab teks Al-Qur'an pada awal periode ini baru dihimpun dalam lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah kediaman Rasulullah saw dan di rumah sebagian sahabat-sahabatnya, dan sunnah pun belum dikodifikasikan sama sekali.
c.    Materi undang-undang hanya mensyariatkan hukum-hukum tentang berbagai peristiwa dan urusan-urusan peradilan yang terjadi itu dan belum mensyariatkan hukum-hukum tentang peristiwa yang belum dan yang mungkin akan terjadi. Sementara umat Islam terus menerus akan dihadapkan oleh sejumlah kebutuhan hukum tentang kejadian baru serta urusan peradilan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi saw, dan ketetapan hukumnya pun belum ada dirumuskan dalam nas-nas.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka para ulama dari kalangan sahabat dan tokoh-tokoh nya berkewajiban menegakkan Tasyri’ itu. Kewajiban tersebut berupa:
a.    Menjelaskan kepada umat Islam tentang persoalan-persoalan yang membutuhkan penjelasan dan interpretasi dari teks-teks hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah.
b.    Menyebarluaskan di kalangan umat Islam tentang hal-hal yang mereka hafal dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah saw.
c.    Menfatwakan kepada masyarakat tentang peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang belum ada ketetapan hukumnya. (Khallaf, 2002: 44-45)
2.    Sumber Hukum Pada Masa Sahabat
Adapun sumber hukum dalam penetapan hukum pada periode sahabat ini ada 3 (tiga) yaitu sebagai berikut:
1.    Al-Qur'an
2.    Sunnah
3.    Ijtihad Sahabat
Apabila terjadi suatu peristiwa baru atau persengketaan, maka para ahli Fatwa mencari ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an. Apabila mereka mendapatkan ketetapan hukumnya di dalam nas Al-Qur'an itu, mereka menerapkan hukum tersebut. Akan tetapi, apabila mereka tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an, maka mereka mencari keterangan dalam sunnah. Dan kalau keterangan tentang ketetapan hukumnya itu terdapat dalam sunnah, maka mereka melaksanakan hukum tersebut.
Selanjutnya apabila mereka dalam menetapkan hukum tidak mendapatkan keterangan baik dalam Al-Qur'an ataupun dalam sunnah, maka mereka menempuh langkah dengan Ijtihad untuk menetapkan hukumnya dengan cara menganalogikan (mengqiyaskan) terhadap peristiwa yang baru itu dengan peristiwa yang sudah ada ketetapan hukumnya atau dengan sesuatu yang dikehendaki oleh jiwa dan semangat tasyri’ Islam serta berdasar atas pertimbangan kemaslahatan umat manusia.
Adapun dasar argumentasi yang menjadikan ijtihad sahabat merupakan bagian dari sumber hukum adalah:
a.    Mereka ikut menyaksikan tindakan dan sikap Rasulullah saw. Ketika menggunakan kekuatan ijtihadnya disaat Wahyu tidak turun kepadanya pada saat ada problematika yang muncul di kalangan umat Islam.
b.    Bahwa mereka memahami berdasarkan adanya penyebutan illat pada sebagian ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah sehingga dengan konteks demikian, mereka memahami bahwa tujuan penetapan hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah adalah untuk kemaslahatan umat.
4.    Berbagai Keputusan Hukum Periode Sahabat
a.    Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat pada masa Abu Bakar yang merupakan khalifah pertama.
b.    Pembagian Harta rampasan perang yang terjadi pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
c.    Satu orang dibunuh beberapa orang, yang terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
d.    Hukuman diyat karena pengampunan salah seorang wali, juga yang terjadi pada masa Umar bin Khattab.
e.    Pernikahan seorang wanita yang sedang dalam Iddah.
f.    Bagian zakat orang muallaf.
g.    Mushaf Utsmani, yang terjadi pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, (Zuhri, 1996: 37-44)


BAB III
PENUTUP

3.1.    Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang sangat singkat diatas maka dapat kami simpulkan bahwa:
1.    Perkembangan Tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin dimulai sejak wafatnya Rasulullah saw yaitu tahun 11 H (632 M) dan berakhir pada akhir abad 1 H.
2.    Adapun sumber dari penetapan hukum pada masa sahabat adalah:
a.    Al-Qur'an yang merupakan sumber hukum yang tertinggi
b.    Sunnah/Hadits Rasulullah saw.
c.    Ijtihad sahabat
3.    Para sahabat dalam menetapkan suatu hukum sering terjadi perbedaan diantara para sahabat-sahabat itu sendiri.
4.    Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam pada masa tabiin ini banyak diwarnai dengan unsur-unsur kepentingan politik. Ini bisa dilihat dari banyaknya hukum-hukum yang hanya menguntungkan segelintir golongan saja.

DAFTAR PUSTAKA


Muhammad Ali As-Soayis, Sekh, Pertumbuhan dan perkembangan Hukum Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
M. Ali Hasan,1997,Prbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 
Al-Bazdawi, Usul ad-Din, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963.
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Jalaluddin Rahmat, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh, Artikel yayasan Paramadina,
Muhammad Nawawi ibn ‘Umar al-Jawi, Fath al-Majid, Semarang: al-Alawiyah, t.th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar