BAB I
PENDAHULUAN
Akidah bagi setiap muslim merupakan salah satu aspek ajaran islam yang wajib diyakini. Dalam Al-qur’an akidah disebut dengan al-iman (percaya) yang sering digandengkan dengan al-amal (perbuatan baik) tampaknya kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam ajaran Islam, Dasar-dasar akidah islam telah dijelaskan nabi Muhammad saw melalui pewahyuan Al-qur’an dan kumpulan sabdanya untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah saw telah meyakini dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu lantaran lantaran rumusan tersebut belum diperlukan.
Pada periode selanjutnya, persoalan akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam tuhan
(Al-qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat masing-masing.Kata kalam berkaitan dengan kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti alasan atau argumen Ahmad Mahmud Shubhimengutip defenisi ilmu kalam versi Ibnu Khaldun bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membahas tetang persoalan-persoalan dasar keimanan dengan menggunakan dalil akal dan menolak unsur-unsur bid’ah. Dari defenisi dapat dipahami bahwa pembahasan ilmu kalam adalah untuk mempertahankan akidah. Dasar-dasar akidah yang termaktub di dalam al-qur’an dianalisa dan dibahas lebih lanjut dengan menggunakan logika untuk mendapatkan keyakinan yang lebih kokoh.
1.1. Latar belakang
Persoalan kalam lainnya yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan tuhan dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman.
Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih di anggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? atau manusia sendiri ? atau kerja sama antara keduanya.Masalah ini kemudian memunculkan Aliran Fatalis (predestination) yang diwakili oleh Qadariah dan Freewill yang diwakili Qadariah dan Mu’tazilah, sedangkan aliran asy’ariah dan maturidiyah mengambil sikap pertengahan.
Persoalan ini kemudian meluas dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak ? apakah perbuatan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :
a. Apa pengertian kekuasaan tuhan?
b. Apa pengertian Keadilan tuhan?
c. Apa pengertian Sifat-sifat tuhan?
d. Apa pengertian perbuatan tuhan?
1.3. Batasan Pembahasan
Dari rumusan masalah diatas, maka pembahasan dapat dibatasi sebagai berikut :
a. Membahas tentang kekuasaan tuhan?
b. Membahas tentang Keadilan tuhan?
c. Membahas tentang Sifat-sifat tuhan?
d. Membahas tentang perbuatan tuhan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kekuasaan Tuhan
sebagai pengikut al-Asy’ari, menyatakan bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak dan tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada suatu benda pun yang memiliki kekuatan dan efek terhadap lainnya, seperti makan tidak menyebabkan kenyang. Jika dikatakan bahwa makan dapat menyebabkan kenyang, karena Tuhan memberikan kekuatan atau sifat mengenyangkan, berarti Tuhan membutuhkan selain-Nya sebagai perantara terwujudnya kenyang itu. Orang yang menyatakan demikian dianggap fasiq dan bid‘ah, termasuk kelompok Mu’tazilah. Jika dikatakan bahwa, benda atau sesuatu itu menyebabkan timbulnya kekuatan tertentu, maka yang menyatakan demikian disebutnya kafir secara ijma’. Menurutnya, yang paling selamat adalah menyatakan : “Bahwa kekuatan tertentu benda-benda itu hanyalah merupakan sebab yang telah biasa terjadi”.
Menurutnya, kehendak Tuhan itu mutlak, menghendaki yang baik maupun yang jelek, namun tidak memerintah dan tidak meridai yang jelek itu. Tuhan menghendaki imannya Abu Bakar dan memerintahkannya, seperti juga menghendaki kekufuran Abu Jahal tanpa memerintah dan meridai atas kekufurannya itu. Hal ini, sama dengan pendapat al-Bazdawi (Maturidiyah Bukhara), bahwa kekuasaan Tuhan ada dua macam, yaitu yang diridai dan yang tidak diridai. Artinya manusia melakukan perbuatan –baik atau jelek– atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya diridai, Tuhan tidak suka perbuatan jahat. Di sini terdapat inkonsistensi dengan pernyataannya, bahwa semua perbuatan manusia diciptakan Tuhan, sesuai dengan firman Tuhan st="on"surat as-Saffat ayat 96 tersebut di atas.
2.2. Keadilan Tuhan
Keadilan Tuhan menurut Nawawi, bahwa keadilan Tuhan adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tuhan boleh berkehendak untuk apa saja, termasuk adil jika memasukkan orang mu’min ke neraka dan orang kafir ke surga. Sebab, bagi Tuhan tidak ada kewajiban yang mengikat-Nya, memasukkan orang beriman ke surga lantaran anugerah (fadl)-Nya, dan memasukkan orang kafir ke neraka lantaran keadilan-Nya. Adil berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Hal ini berbeda dengan konsep Mu’tazilah tentang adil, yaitu memberikan sesuatu kepada yang berhak menerimanya. Tuhan tidak dapat disebut zalim, sebab Dia pemilik segala sesuatu, Dia berhak melakukan apa saja.
Pendapat Nawawi ini, sebagaimana kaum Asy’ariyah lainnya, terdapat persoalan yang rumit. Sebab, paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mengandung arti manusia tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan, sehingga tidak dapat disebut adil jika Tuhan menghukum orang yang melakukan perbuatan yang tidak dikehendakinya, atau karena terpaksa. Di sini Nawawi mencarikan jalan kelar, yaitu konsep iradah dan ar-rida seperti di atas. Maka menentang perintah dan keridaan-Nya, wajar jika mendapatkan pahala atau siksa, sehingga tidak dapat disebut zalim jika Tuhan menghukum orang yang berbuat jahat. Meskipun demikian, tetap saja terdapat kesulitan, yaitu pada hakekatnya kebebasan manusia untuk memilih yang diridai dan yang tidak diridai Tuhan tetap berdasarkan kasb (perolehan) yang diberikan kepada orang itu.
2.3. Sifat-Sifat Tuhan
Wajib bagi setiap mukallaf dan muslim mempercayai bahawa terdapat beberapa sifat kesempurnaan yang tidak terhingga bagi Allah, meliputu sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah.
Sifat wajib bagi Allah adalah sifat yang harus ada pada dzat Allah sebagai kesempurnaan bagi-Nya. Allah adalah kholiq, dzat yang memiliki sifat yang tidak mungkin sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk-Nya. Menurut para ulama’ ilmu kalam Sifat wajib bagi Allah terdiri atas 20 sifat, dari 20 sifat tersebut dikelompokkan menjadi 4, yaitu : Nafsiyah, salbiyah, Ma’ani dan Ma’nawiyah
Sifat mustahil bagi Allah yaitu sifat-sifat yang tidak layak dimiliki oleh Allah dan merupakan kebalikan dari sifat wajib Allah. Jumlah dari sifat mustahil ini sama dengan sifat wajib yaitu 20.
Sedangkan Sifat jaiz bagi Allah adalah sifat yang boleh ada dan boleh pula tidak ada pada Allah. Adapun sifat jaiz allah ialah :
فعل كلّ ممكن او تركه
“ Memperbuat segala sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak memperbuatnya “.
2.4. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memilki kemampuan untuk melakukannya.
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak Rasional, berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam Al-qur’an pun jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat Al-qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya diatas adalah surat Al-anbiyaa (21):23 dan surat Ar-rum (30) : 8.
Qadi Abd Al-jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan yang Maha suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu di tanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik ., tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu adapun ayat yang kedua, menurut Al-jabar mengandung petunjuk bahwa tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia kewajiban-kewajiban tersebut dapat disimpulkan dalam satu hal yaitu kewajiban berbuat terhadap manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham kewajiban Allah berikut ini :
a. Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia.
Memberi beban diluar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertetangan dengan faham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia.
b. Kewajiban mengirimkan rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengtahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c. Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
2. Aliran Asy’ariah
Menurut aliran asy’ariyah, faham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah , tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat dan yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yang dikatakan Al-ghazali, perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa , aliran asy’ariyah menerima faham pemberian beban diluar kemampuan manusia, Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam Al-luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat di pikul pada manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari sudut faham ini, pemberian bebana yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
3. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. kekuasaan Tuhan adalah mutlak dan tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada suatu benda pun yang memiliki kekuatan dan efek terhadap lainnya.
2. keadilan Tuhan adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tuhan boleh berkehendak untuk apa saja, termasuk adil jika memasukkan orang mu’min ke neraka dan orang kafir ke surga. Sebab, bagi Tuhan tidak ada kewajiban yang mengikat-Nya, memasukkan orang beriman ke surga lantaran anugerah (fadl)-Nya, dan memasukkan orang kafir ke neraka lantaran keadilan-Nya.
3. Sifat wajib bagi Allah adalah sifat yang harus ada pada dzat Allah sebagai kesempurnaan bagi-Nya. Allah adalah kholiq, dzat yang memiliki sifat yang tidak mungkin sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk-Nya.
4. Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat di pikul pada manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari sudut faham ini, pemberian bebana yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bazdawi, Usul ad-Din, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963.
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Muhammad Nawawi ibn ‘Umar al-Jawi, Fath al-Majid, st="on"Semarang: al-Alawiyah, t.th.
_________________, Syarh Tijan ad-Darari, st="on"Semarang: al-‘Alawiyah, t.th.
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, st="on"Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, st="on"Surabaya: Mahkota, 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar