DOKUMEN MANBA'UL ULUM

DOKUMEN MANBA'UL ULUM
sejarah pengarsipan

Kamis, 05 Januari 2012

urf dan illah


RESUME
USHUL FIQH
DALIL HUKUM IJTIHADI, ‘URF DAN ‘ILLAH



DISUSUN OLEH : Kelompok 6

NAMA : SYAHRUL MUNIR 10210278
NUR PISAH 10210207
SEMESTER : III A
JURUSAN : TARBIYAH
PROG. STUDI : S.I PAI














SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO - LAMPUNG
TAHUN 2012


KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta inayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah Ushul Fiqh.
Banyak terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah melipat gandakan amal baiknya. Dan semoga makalah ini dapat menambah sesuatu yang berguna bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala kekurangan yang ada pada kami dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran yang membangun yang bisa menjadi kami lebih baik sangat kami nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga Allah SWTsenantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.






Metro, 2012
Penulis






ii
DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 1
1.3. Batasan Pembahasan 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian ‘Urf 2
2.2. Macam-Macam ‘Urf 4
2.3. Dasar Hukum ‘Urf 6
2.4. Pengertian ‘Illah 7
2.5. Cara Menentukan ‘Illah 12


BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan 15


DAFTAR PUSTAKA








iii






BAB I
PENDAHULUAN
    1. Latar Belakang
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya.
    1. Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian ‘Urf?
  2. Apa pengertian ‘illah?
    1. Batasan Pembahasan
  1. Membahas tentang pengertian ‘Urf.
  2. Membahas tentang pengertian ‘illah.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian ‘Urf
Dari segi etimologi, ‘Urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ro’ dan fa’ yang berarti kenal, yang dari sini muncul kata ma’rifah (yang dikenal) ta’rif (definisi) kata marfu’ (yang dikenal sebagai kebaikan) dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).
Adapun dari segi terminology kata ‘urf mengandung makna :
مَاعتَداهُ النَّاسُ وَسَاروْ عَليهِ من كُلِّ فِعلٍ شَاعَ بينهم, او لفظٌ تعارفوا اِطْلاقَهُ على معنى خَاصٍ لا تَأَلَّفَهُ ولا يَتَبَادرُ غيرهُ عندَ سمَاعهِ.
Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka, atau suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.


  1. Macam-macam 'urf
'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya. 'urf terbagi kepada:
  1. 'Urf qauli
Ialah 'rf yang berupa perkataan' seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan).
  1. 'Urf amali
Ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jua beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara' membolehkannya.
Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf, terbagi atas:
  1. 'Urf shahih
Ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'.
  1. 'Urf asid
Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'urf terbagi kepada:
  1. 'Urf 'âm
Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.
Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/masyarakat yang dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW: yang Artinya:
"Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba.
Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.
  1. 'Urf khash
Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.
    1. Dasar hukum 'urf
Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara'. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
    1. Pengertian Illah
'Ilah adalah sebuah sifat yang nampak dan terindrai, yang menjadi dasar ada atau tidaknya sebuah hukum. Dalam kaedah ushul disebutkan :
اَلْحُكْمُ يَدُورُ مَعَ اْلعِلَّةِ وُجُودًا وَ عَدَمًا
Ada atau tidaknya hukum itu selaras (bergantung kepada) ada atau tidaknya ’ilah hukum tersebut.”
Untuk memahami makna ‘ilah (sebab hukum), kita ambil contoh larangan membunuh perempuan. Dalam suatu perang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menemukan seorang perempuan yang terbunuh. Maka beliau bersabda,” Seharusnya ia tidak ikut berperang.” Beliau lalu mengutus seorang laki-laki untuk memberitahukan kepada pasukan terdepan pimpinan Khalid bin Walid,” Katakan kepada Khalid janganlah membunuh perempuan dan orang tua.“
Hadits shahih lain menerangkan bahwa Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa salam menjatuhkan hukuman bunuh atas seorang perempuan Bani Quraidzah karena perempuan itu telah membunuh seorang muslim dalam perang Ahzab.
Dalam hadits pertama dijelaskan, seorang perempuan tidak boleh dibunuh. ‘Ilah (sebab hukumnya) adalah perempuan tidak ikut berperang.
Dalam hadits kedua dijelaskan, seorang perempuan dibunuh. ‘Ilah (sebab hukumnya) adalah perempuan terlibat dalam peperangan melawan kaum muslimin.
Jadi, ‘ilah boleh dan tidaknya seorang perempuan kafir diperangi dan dibunuh, adalah ada dan tidaknya keterlibatan perempuan tersebut dalam peperangan melawan kaum muslimin. Jika tidak terlibat, ia tidak boleh dibunuh. Jika terlibat, maka ia boleh dibunuh menurut kesepakatan ulama.
Inilah contoh ‘ilah : adanya sebuah hukum dikarenakan adanya ‘ilah dan tidak adanya hukum disebabkan tidak adanya ‘ilah.
Ilah (Sebab Pensyariatan Hukum) Jihad
Pertanyaannya, apa ‘ilah jihad, sebab dan alasan yang melatar belakangi ada dan tidaknya perintah jihad ? Untuk mengetahuinya, perlu dikaji ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan untuk berjihad.
(1). Firman Allah Ta’ala :
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ
Artinya : “ Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.” (QS. At-Taubah: 5).
Imam Ibnul ‘Arobi menjelaskan makna ayat ini:
هَذَا اللَّفْظُ وَإِنْ كَانَ مُخْتَصًّا بِكُلِّ كَافِرٍ عَابِدٍ لِلْوَثَنِ فِي الْعُرْفِ، وَلَكِنَّهُ عَامٌ فِي اْلحَقِيقَةِ لِكُلِّ كَافِرٍ بِاللهِ، أَمَّا أَنَّهُ بِحُكْمِ قُوَّةِ اللَّفْظِ يَرْجِعُ تَنَاوُلُهُ إِلىَ مُشْرِكِي الْعَرَبِ الَّذِينَ كَانَ الْعَهْدُ لَهُمْ وَفِي جِنْسِهِمْ، وَيَبْقَى ْالكَلاَمُ فِيمَنْ كَفَرَ مِنْ أَهْلِ اْلكِتَابِ وَغَيرِهْم فَيُقْتَلُونَ بِوُجُودِ عِلَّةِ الْقَتْلِ، وَهِيَ اْلإِشْرَاكُ فِيهِمْ إِلاَّ أَنَّهُ قَدْ وَقَعَ اْلبَيَانُ بِالنَّصِّ عَلَيهِمْ فِي هَذِهِ السُّورَةِ.وَقَدْ ضَلَّ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ عَنْ هَذَا وَزَعَمُوا أَنَّ سَبَبَ الْقَتْلِ الْمُبِيحِ لِلْقِتَالِ هِيَ الْخِرْبَةُ وَتَعَلَّقُوا بِقَولِهِ تَعَالىَ (وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ). وَهَذِهِ اْلآيَةُ تَقْضِي عَلَيهَا الَّتِي بَعْدَهَا ِلأَنَّهُ أَمَرَ أَوَّلاً بِقَالِبِ مَنْ قَاتَلَ ثُمَّ بَيَّنَ أَنَّ سَبَبَ قِتَالِهِ وَقَتْلِهِ كُفْرِهِ اْلبَاعِثِ لَهُ عَلَى اْلقِتَالِ. وَ أَمَرَ بِقَتِالِهِ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ بِابْتِدَاءِ قِتَالٍ مِنْهُ.
Lafadz dalam ayat ini (yaitu bunuhlah orang-orang musyrik) walaupun menurut urf terkhusus untuk orang-orang kafir penyembah berhala, akan tetapi ayat ini umum mencakup semua orang yang kafir kepada Alloh. Meskipun menurut kuatnya lafadz, cakupan ayat ini kembali (mengenai) kepada orang-orang musyrik Arab yang yang mempunyai ikatan perjanjian serta orang-orang yang semacam mereka. Dan masih tersisa pembahasan tentang orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan yang lainnya, maka mereka diperangi karena adanya sebab disyari’atkannya pembunuhan pada mereka yaitu kesyirikan mereka, namun ada penjelasan secara nash terhadap mereka dalam surat ini.
Para murid imam Abu Hanifah telah tersesat dalam masalah ini. Mereka berpendapat sebab pembunuhan yang memperbolehkan peperangan adalah tindakan memerangi. Mereka berdalil dengan firman Allah (dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian…”, QS. Al-Baqarah ;190).
Padahal, ayat ini dibatalkan oleh ayat sesudahnya (Dan bunuhlah mereka di manapun kalian menemui mereka. Usirlah mereka dari mana mereka mengusir kalian, karena fitnah (kekafiran) lebih besar dosanya dari pembunuhan).
Pertama kali Allah memerintahkan untuk melawan orang-orang yang memerangi. Lalu Allah menerangkan bahwa sebab membunuh dan memeranginya adalah kekafirannya, hal yang mendorong untuk memerangi (umat Islam). Allah lalu memerintahkan untuk memerangi mereka secara mutlak, tanpa pengkhususan jika mereka memulai serangan lebih dahulu.”
(2). Firman Allah Ta’ala :
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 29).
(3). Firman Allah Ta’ala :
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS.At Taubah :36).
Mayoritas ulama tafsir menafsirkan “fitnah” dalam ayat-ayat di atas dengan kemusyrikan dan kekafiran. Maka, makna ayat-ayat di atas adalah “perangilah mereka sampai tidak ada kekafiran dan kesyirikan.”
Para ulama’ menetapkan beberapa syarat terhadap suatu ‘illah hukum. Agar dipandang syah sebagai ‘illah. Yaitu sebagai berikut:
  1. Zhahir yaitu : ‘illah mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata, dapat di sakssikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan yang lain.
  2. illah harus mengandung hikmah yang sesuai dengan kaitan hukum dan tujuan hukum. Yaitu kemaslahatan mukallaf di dunia dan diakhirat.
  3. Mundhabithah, yaitu ‘illah mestilah sesuatu yang dapat diukur dan jelas batasnya.
  4. Mula’im wa munasib yaitu suatu ‘illah harus memiliki kelayakan dan memiliki hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat yang dipandang sebagai ‘illah.
  5. Muta’addiyah yaitu suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa yang ada nashsh hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak ditetapkan hukumnya.
    1. Cara Menentukan ‘Illah.
Untuk menentukan ‘illah terkadang ditemukan petunjuk yang jelas, tetapi terkadang petunjuk tersebut tidak jelas. Ada sepuluh cara untuk menemukan adanya ‘illah yaitu :
  1. Berdasarkan petunjuk nashsh
Menyerupakan hukum yang tidak ada nashsh nya kepada hukum yang ada nashsh nya, maka dapat dipahami cara menentukan ‘illah suatu hukum adalah melalui nashsh.
Firman allah (QS. Al-Hasyr : 7)
                        .....
artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
  1. Berdasarkan ketentuan ijma’.
Sabda rasulullah SAW1.
لايَحكُمْ احدٌ بين اثْنَيْنِ وهوا غَضْبَانُ
Janganlan seseorang yang mengadili dua orang yang berperkara, sedang ia dalam keadaan marah.
  1. Berdasarkan ima’ (isyarat).
Adanya suatu isyarat atau penegasan dari suatu nashsh yang menunjukkan bahwa isyarat tersebut merupakan ‘illah hukum.
  1. As-sabr wa at-taqsim (penelitian dan pengklasifikasian)
Melakukan penelitian dan pemilahan diantara beberapa sifat yang terdapat dalam suatu nashsh yang mungkin di jadikan sebagai ‘illah, kemudian memilih sifat yang paling kuat untuk ditetapkan sebagai ‘illah.
  1. Tanqih al-manath (menyeleksi hubungan/gantungan)
Membuang atau mengenyampingkan sifat-sifat hukum yang tidak ada gantungan/kaitannya dengan hukum tersebut. Contoh hadits riwayat al-bukhori2. Yang artinya:
Dari abu hurairah ia berkata: seseorang menemui rasulullah kemudian ia berkata: “celaka saya”, rasulullah bertanya: apa sebabnya?, jawabnya: saya berhubungan dengan istri saya pada siang ramadhan, rasulullah bersabda: merdekakanlah seorang hamba, jawabnya: saya tidak punya, sabda rasulullah: puasalah dua bulan berturut-turut, jawabnya: saya tidak sanggup, sabda rasulullah: memberi makan 60 orang miskin, jawabnya: saya tidak memiliki harta untuk itu, kemudian oleh rasulullah dibawakan sekarung tamar, rasulullah bersabda: mana orang yang bertanya tadi? Orang tersebut menjawab saya disini, wahai rasulullah, sabda rasulullah: sedekahkanlah ini, orang tersebut berkata lagi: kepada orang yang paling membutuhkan ya rasulullah? Demi allah yang telah mengutus engkau di pegunungan batu itu tidak ada satu rumah tanggapun yang membutuhkan kecuali saya, rasulullah kemudian tertawa, sampai kelihatan gigi grahamnya, kemudian beliau bersabda: kalau begitu kamulah yang berhaq”.






BAB III
PENUTUP
    1. KESIMPULAN
dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
  1. Pengertian ‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
  2. Pengertian ‘illah adalah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.






DAFTAR PUSTAKA


Alauddin Abdul Aziz Bin Ahmad Al-Bukhari, Kasyif Al-Asrar’an Ushul Fakhr al-Islam al-Bazdawi (Tahqiq: Muhammad Al-Mu’tashim Bin Allah Al-Baghdadi), Beirut Dar al-Kitab al-Arabi, 1991.
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad Bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, Beirut Dar Al-Qur’an, tt.
Muslim Bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Ttp: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, 1972.
1 Muslim, shahih muslim, hadits nomor 3241.

2 Al-bukhori, shahih al-bukhari, hadits nomor 4949.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar