RESUME
USHUL
FIQH
DALIL
HUKUM IJTIHADI, ‘URF DAN ‘ILLAH
DISUSUN
OLEH : Kelompok 6
NAMA : SYAHRUL MUNIR 10210278
NUR PISAH 10210207
SEMESTER : III A
JURUSAN : TARBIYAH
PROG. STUDI : S.I PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI MA’ARIF)
METRO
- LAMPUNG
TAHUN
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta inayahnya.
Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah
Ushul Fiqh.
Banyak terimakasih kami sampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Semoga Allah melipat gandakan amal baiknya. Dan semoga makalah ini
dapat menambah sesuatu yang berguna bagi yang membacanya.
Ahirnya kami menyadari segala kekurangan yang ada
pada kami dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran yang
membangun yang bisa menjadi kami lebih baik sangat kami nantikan.
Sekian dan terimakasih, semoga Allah SWTsenantiasa
melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.
Metro, 2012
Penulis
ii
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL i
KATA
PENGANTAR ii
DAFTAR
ISI iii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 1
1.3. Batasan Pembahasan 1
BAB
II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian ‘Urf 2
2.2. Macam-Macam ‘Urf 4
2.3. Dasar Hukum ‘Urf 6
2.4. Pengertian ‘Illah 7
2.5. Cara Menentukan ‘Illah 12
BAB
III PENUTUP
3.1. Kesimpulan 15
DAFTAR
PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan)
yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah
pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang
yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan
barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada
wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk
gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam
masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu
dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara
ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara
kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya.
- Rumusan Masalah
- Apa pengertian ‘Urf?
- Apa pengertian ‘illah?
- Batasan Pembahasan
- Membahas tentang pengertian ‘Urf.
- Membahas tentang pengertian ‘illah.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian ‘Urf
Dari segi etimologi, ‘Urf berasal dari kata yang
terdiri dari huruf ‘ain, ro’ dan fa’ yang berarti kenal, yang
dari sini muncul kata ma’rifah (yang dikenal) ta’rif (definisi)
kata marfu’ (yang dikenal sebagai kebaikan) dan kata ‘urf
(kebiasaan yang baik).
Adapun dari segi terminology
kata ‘urf mengandung makna :
مَاعتَداهُ
النَّاسُ وَسَاروْ عَليهِ من كُلِّ فِعلٍ
شَاعَ بينهم,
او
لفظٌ تعارفوا اِطْلاقَهُ على معنى خَاصٍ
لا تَأَلَّفَهُ ولا يَتَبَادرُ غيرهُ
عندَ سمَاعهِ.
Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan
mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer
diantara mereka, atau suatu kata yang biasa mereka kenal dengan
pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika
mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh
masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf
disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah
tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan).
Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan
pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa
diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan
pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat,
juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah
merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang
yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan)
yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah
pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang
yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan
barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada
wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk
gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam
masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu
dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara
ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara
kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada
ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan
hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya,
kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah
terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau
beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini
dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka
mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya
sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara
mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para
mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat
mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan
memandangnya baik.
- Macam-macam 'urf
'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau
dari segi sifatnya. 'urf terbagi kepada:
- 'Urf qauli
Ialah 'rf yang berupa perkataan' seperti perkataan
walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak
laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari
biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun,
menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya segala macam
daging, seperti daging binatang darat dan ikan Tetapi dalam
percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja tidak
termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan).
- 'Urf amali
Ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual
beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli.
Padahal menurut syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu
rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat melakukan jua beli tanpa shighat jual beli dan tidak
terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara' membolehkannya.
Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf,
terbagi atas:
- 'Urf shahih
Ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena
tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan
sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi
kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'.
- 'Urf asid
Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat
diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan
mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang
dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan
dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'urf
terbagi kepada:
- 'Urf 'âm
Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa
dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah
memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang
yang telah membantu kita dan sebagainya.
Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan
bagi orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan
jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan
jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti
hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan
yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/masyarakat yang
dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW: yang
Artinya:
"Barangsiapa telah memberi syafa'at
(misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka
orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka
perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang
besar dari pintu-pintu riba.
Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan
dengan rakyatnya.
- 'Urf khash
Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa
atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang
biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap
selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada
negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.
- Dasar hukum 'urf
Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat
dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara'. Ulama
Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah
dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan
bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i
terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian
tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih
berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir
(qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah
dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar
hujjah.
- Pengertian Illah
'Ilah
adalah sebuah sifat yang nampak dan terindrai, yang menjadi dasar ada
atau tidaknya sebuah hukum. Dalam kaedah ushul disebutkan :
اَلْحُكْمُ
يَدُورُ مَعَ اْلعِلَّةِ وُجُودًا وَ
عَدَمًا
“Ada atau tidaknya hukum itu selaras
(bergantung kepada) ada atau tidaknya ’ilah hukum tersebut.”
Untuk memahami makna ‘ilah (sebab hukum), kita
ambil contoh larangan membunuh perempuan. Dalam suatu perang,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menemukan seorang perempuan
yang terbunuh. Maka beliau bersabda,” Seharusnya ia tidak ikut
berperang.” Beliau lalu mengutus seorang laki-laki untuk
memberitahukan kepada pasukan terdepan pimpinan Khalid bin Walid,”
Katakan kepada Khalid janganlah membunuh perempuan dan orang tua.“
Hadits shahih lain menerangkan bahwa Rasululah
Shallallahu ‘alaihi wa salam menjatuhkan hukuman bunuh atas seorang
perempuan Bani Quraidzah karena perempuan itu telah membunuh seorang
muslim dalam perang Ahzab.
Dalam hadits pertama dijelaskan, seorang perempuan
tidak boleh dibunuh. ‘Ilah (sebab hukumnya) adalah perempuan tidak
ikut berperang.
Dalam hadits kedua dijelaskan, seorang perempuan dibunuh. ‘Ilah (sebab hukumnya) adalah perempuan terlibat dalam peperangan melawan kaum muslimin.
Jadi, ‘ilah boleh dan tidaknya seorang perempuan kafir diperangi dan dibunuh, adalah ada dan tidaknya keterlibatan perempuan tersebut dalam peperangan melawan kaum muslimin. Jika tidak terlibat, ia tidak boleh dibunuh. Jika terlibat, maka ia boleh dibunuh menurut kesepakatan ulama.
Inilah contoh ‘ilah : adanya sebuah hukum dikarenakan adanya ‘ilah dan tidak adanya hukum disebabkan tidak adanya ‘ilah.
Dalam hadits kedua dijelaskan, seorang perempuan dibunuh. ‘Ilah (sebab hukumnya) adalah perempuan terlibat dalam peperangan melawan kaum muslimin.
Jadi, ‘ilah boleh dan tidaknya seorang perempuan kafir diperangi dan dibunuh, adalah ada dan tidaknya keterlibatan perempuan tersebut dalam peperangan melawan kaum muslimin. Jika tidak terlibat, ia tidak boleh dibunuh. Jika terlibat, maka ia boleh dibunuh menurut kesepakatan ulama.
Inilah contoh ‘ilah : adanya sebuah hukum dikarenakan adanya ‘ilah dan tidak adanya hukum disebabkan tidak adanya ‘ilah.
‘Ilah (Sebab Pensyariatan Hukum) Jihad
Pertanyaannya, apa ‘ilah jihad, sebab dan alasan
yang melatar belakangi ada dan tidaknya perintah jihad ? Untuk
mengetahuinya, perlu dikaji ayat-ayat dan hadits-hadits yang
memerintahkan untuk berjihad.
(1). Firman Allah Ta’ala :
(1). Firman Allah Ta’ala :
فَإِذَا
انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ
وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ
وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ
كُلَّ مَرْصَدٍ
Artinya : “ Apabila sudah habis bulan-bulan
Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah
di tempat pengintaian.” (QS. At-Taubah: 5).
Imam Ibnul ‘Arobi menjelaskan makna ayat ini:
هَذَا
اللَّفْظُ وَإِنْ كَانَ مُخْتَصًّا
بِكُلِّ كَافِرٍ عَابِدٍ لِلْوَثَنِ فِي
الْعُرْفِ، وَلَكِنَّهُ عَامٌ فِي
اْلحَقِيقَةِ لِكُلِّ كَافِرٍ بِاللهِ،
أَمَّا أَنَّهُ بِحُكْمِ قُوَّةِ اللَّفْظِ
يَرْجِعُ تَنَاوُلُهُ إِلىَ مُشْرِكِي
الْعَرَبِ الَّذِينَ كَانَ الْعَهْدُ
لَهُمْ وَفِي جِنْسِهِمْ، وَيَبْقَى
ْالكَلاَمُ فِيمَنْ كَفَرَ مِنْ أَهْلِ
اْلكِتَابِ وَغَيرِهْم فَيُقْتَلُونَ
بِوُجُودِ عِلَّةِ الْقَتْلِ، وَهِيَ
اْلإِشْرَاكُ فِيهِمْ إِلاَّ أَنَّهُ
قَدْ وَقَعَ اْلبَيَانُ بِالنَّصِّ
عَلَيهِمْ فِي هَذِهِ السُّورَةِ.وَقَدْ
ضَلَّ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ عَنْ
هَذَا وَزَعَمُوا أَنَّ سَبَبَ الْقَتْلِ
الْمُبِيحِ لِلْقِتَالِ هِيَ الْخِرْبَةُ
وَتَعَلَّقُوا بِقَولِهِ تَعَالىَ
(وَقَاتِلُوا
فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ
يُقَاتِلُونَكُمْ…).
وَهَذِهِ
اْلآيَةُ تَقْضِي عَلَيهَا الَّتِي
بَعْدَهَا ِلأَنَّهُ أَمَرَ أَوَّلاً
بِقَالِبِ مَنْ قَاتَلَ ثُمَّ بَيَّنَ
أَنَّ سَبَبَ قِتَالِهِ وَقَتْلِهِ
كُفْرِهِ اْلبَاعِثِ لَهُ عَلَى اْلقِتَالِ.
وَ
أَمَرَ بِقَتِالِهِ مُطْلَقًا مِنْ
غَيْرِ تَخْصِيصٍ بِابْتِدَاءِ قِتَالٍ
مِنْهُ.
”Lafadz dalam ayat ini (yaitu bunuhlah
orang-orang musyrik) walaupun menurut urf terkhusus untuk orang-orang
kafir penyembah berhala, akan tetapi ayat ini umum mencakup semua
orang yang kafir kepada Alloh. Meskipun menurut kuatnya lafadz,
cakupan ayat ini kembali (mengenai) kepada orang-orang musyrik Arab
yang yang mempunyai ikatan perjanjian serta orang-orang yang semacam
mereka. Dan masih tersisa pembahasan tentang orang-orang kafir dari
kalangan ahli kitab dan yang lainnya, maka mereka diperangi karena
adanya sebab disyari’atkannya pembunuhan pada mereka yaitu
kesyirikan mereka, namun ada penjelasan secara nash terhadap mereka
dalam surat ini.
Para murid imam Abu Hanifah telah tersesat dalam
masalah ini. Mereka berpendapat sebab pembunuhan yang memperbolehkan
peperangan adalah tindakan memerangi. Mereka berdalil dengan firman
Allah (dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kalian…”, QS. Al-Baqarah ;190).
Padahal, ayat ini dibatalkan oleh ayat sesudahnya (Dan bunuhlah mereka di manapun kalian menemui mereka. Usirlah mereka dari mana mereka mengusir kalian, karena fitnah (kekafiran) lebih besar dosanya dari pembunuhan).
Pertama kali Allah memerintahkan untuk melawan orang-orang yang memerangi. Lalu Allah menerangkan bahwa sebab membunuh dan memeranginya adalah kekafirannya, hal yang mendorong untuk memerangi (umat Islam). Allah lalu memerintahkan untuk memerangi mereka secara mutlak, tanpa pengkhususan jika mereka memulai serangan lebih dahulu.”
(2). Firman Allah Ta’ala :
Padahal, ayat ini dibatalkan oleh ayat sesudahnya (Dan bunuhlah mereka di manapun kalian menemui mereka. Usirlah mereka dari mana mereka mengusir kalian, karena fitnah (kekafiran) lebih besar dosanya dari pembunuhan).
Pertama kali Allah memerintahkan untuk melawan orang-orang yang memerangi. Lalu Allah menerangkan bahwa sebab membunuh dan memeranginya adalah kekafirannya, hal yang mendorong untuk memerangi (umat Islam). Allah lalu memerintahkan untuk memerangi mereka secara mutlak, tanpa pengkhususan jika mereka memulai serangan lebih dahulu.”
(2). Firman Allah Ta’ala :
قَاتِلُوا
الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ
بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ
مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ
وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى
يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ
صَاغِرُونَ
“ Perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang)
yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah:
29).
(3). Firman Allah Ta’ala :
وَقَاتِلُوا
الْمُشْرِكِيْنَ كَآفَّةً كَمَا
يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُوْا
أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
” Dan perangilah musyrikin itu semuanya
sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasannya
Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS.At Taubah :36).
Mayoritas ulama tafsir menafsirkan “fitnah”
dalam ayat-ayat di atas dengan kemusyrikan dan kekafiran. Maka, makna
ayat-ayat di atas adalah “perangilah mereka sampai tidak ada
kekafiran dan kesyirikan.”
Para ulama’ menetapkan beberapa syarat terhadap
suatu ‘illah hukum. Agar dipandang syah sebagai ‘illah. Yaitu
sebagai berikut:
- Zhahir yaitu : ‘illah mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata, dapat di sakssikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan yang lain.
- ‘illah harus mengandung hikmah yang sesuai dengan kaitan hukum dan tujuan hukum. Yaitu kemaslahatan mukallaf di dunia dan diakhirat.
- Mundhabithah, yaitu ‘illah mestilah sesuatu yang dapat diukur dan jelas batasnya.
- Mula’im wa munasib yaitu suatu ‘illah harus memiliki kelayakan dan memiliki hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat yang dipandang sebagai ‘illah.
- Muta’addiyah yaitu suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa yang ada nashsh hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak ditetapkan hukumnya.
- Cara Menentukan ‘Illah.
Untuk menentukan ‘illah terkadang ditemukan
petunjuk yang jelas, tetapi terkadang petunjuk tersebut tidak jelas.
Ada sepuluh cara untuk menemukan adanya ‘illah yaitu :
- Berdasarkan petunjuk nashsh
Menyerupakan hukum yang tidak ada nashsh nya
kepada hukum yang ada nashsh nya, maka dapat dipahami cara menentukan
‘illah suatu hukum adalah melalui nashsh.
Firman allah (QS. Al-Hasyr : 7)
.....
artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari
penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu.
- Berdasarkan ketentuan ijma’.
لايَحكُمْ
احدٌ بين اثْنَيْنِ وهوا غَضْبَانُ
Janganlan seseorang yang mengadili dua orang
yang berperkara, sedang ia dalam keadaan marah.
- Berdasarkan ima’ (isyarat).
Adanya suatu isyarat atau penegasan dari suatu
nashsh yang menunjukkan bahwa isyarat tersebut merupakan ‘illah
hukum.
- As-sabr wa at-taqsim (penelitian dan pengklasifikasian)
Melakukan penelitian dan pemilahan diantara
beberapa sifat yang terdapat dalam suatu nashsh yang mungkin di
jadikan sebagai ‘illah, kemudian memilih sifat yang paling kuat
untuk ditetapkan sebagai ‘illah.
- Tanqih al-manath (menyeleksi hubungan/gantungan)
Membuang atau mengenyampingkan sifat-sifat hukum
yang tidak ada gantungan/kaitannya dengan hukum tersebut. Contoh
hadits riwayat al-bukhori2.
Yang artinya:
Dari abu hurairah ia berkata: seseorang menemui
rasulullah kemudian ia berkata: “celaka saya”, rasulullah
bertanya: apa sebabnya?, jawabnya: saya berhubungan dengan istri saya
pada siang ramadhan, rasulullah bersabda: merdekakanlah seorang
hamba, jawabnya: saya tidak punya, sabda rasulullah: puasalah dua
bulan berturut-turut, jawabnya: saya tidak sanggup, sabda rasulullah:
memberi makan 60 orang miskin, jawabnya: saya tidak memiliki harta
untuk itu, kemudian oleh rasulullah dibawakan sekarung tamar,
rasulullah bersabda: mana orang yang bertanya tadi? Orang tersebut
menjawab saya disini, wahai rasulullah, sabda rasulullah:
sedekahkanlah ini, orang tersebut berkata lagi: kepada orang yang
paling membutuhkan ya rasulullah? Demi allah yang telah mengutus
engkau di pegunungan batu itu tidak ada satu rumah tanggapun yang
membutuhkan kecuali saya, rasulullah kemudian tertawa, sampai
kelihatan gigi grahamnya, kemudian beliau bersabda: kalau begitu
kamulah yang berhaq”.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
- Pengertian ‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
- Pengertian ‘illah adalah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Alauddin Abdul Aziz Bin Ahmad Al-Bukhari, Kasyif
Al-Asrar’an Ushul Fakhr al-Islam al-Bazdawi (Tahqiq: Muhammad
Al-Mu’tashim Bin Allah Al-Baghdadi), Beirut Dar al-Kitab al-Arabi,
1991.
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad Bin Isma’il,
Shahih al-Bukhari, Beirut Dar Al-Qur’an, tt.
Muslim Bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Ttp: Dar
Ihya’ at-Turats al-Arabi, 1972.
1
Muslim,
shahih muslim,
hadits nomor 3241.
2
Al-bukhori,
shahih al-bukhari,
hadits nomor 4949.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar